06 October 2009

Malam di Jantung Kota

Jakarta, kota yang tek pernah tidur selalu memberi mimpi2 yang seolah tak akan habis memberikan janji2 indah kepada penghuninya dan orang2 diluar yang tertarik mendiaminya.

Sore itu, saya dan beberapa temen kantor berjanji untuk jalan2 pada malam hari, melepas penat setelah hari2 kerja yang cukup padat sepanjang minggu. Jakarta memiliki begitu banyak pilihan tempat hiburan, diskotik, klub malam, bar, tapi sayang tak ada yang menarik minatku. Malam itu kami berbeberapa memiliki minat yang sama pada sebuah ruas jalan yang terletak di jantung kota, MH. Thamrin.


Ruas jalan yang cukup gemerlap ini tidak terlalu panjang, hanya sekitar 1-1,5 km melintang dari bundaran hotel Indonesia (BHI) sampai silang monas. Jalan yang dipagari gedung2 tinggi beraneka bentuk tempat berbagai perusahaan, lembaga, instansi, berkantor didalamnya.

Ruas jalan yang cukup terang, seolah tak ada beda malam dengan siang.


ersimpangannya yang tetap hidup meski pagi menjelang

lalu lintas yang tak menyisakan ruang bagi marka-marka yang berserakan
dibatasi sebuah rung gelap pada sebuah lingkaran yang mengelilingi sekolam air tanpa sudut.
perjalanan kami menikmati malam itu berakhir pada sebuah tempat menyeruput kopi, di satu sudut Thamrin. ruangan kecil yang diterangi beberapa kecil lampu2 redup.



perjalanan pada sebuah malam sekedar menghirup udara tanpa polusi.
dan berujung pada sebuah pagi....

thanks kamerad Doan, Nino, n Alex.
Read More..

30 September 2009

Pulang (#2) Lebaran

Orang-orang yang mengenal tempatku dilahirkan disini, barangkali ada beberapa yang sepakat denganku bahwa sulit mengharapkan “masa depan” dari desa ini (murni pendapat pribadiku, dan berlaku bisa jadi untukku saja). Hidup yang hanya bersandar pada hasil pertanian, sawah tepatnya, serta sedikit variasai mata pencaharian lain. Pengangguran yang ada dimana-mana, kekurangan yang nampak disana-sini, tidak bisa tidak merupakan masalah sosial yang selalu menghantui desa ini. "masa depan" yang kumaksud, adalah masa depan bagi orang2 sepertiku, yang tidak memiliki akar agraris yang kuat, sedikit darah pedagang dari kakek dan ibu, serta ayah yang seorang pengabdi negara. Di desa ini aku rasakan tidak ada ruang bagiku untuk maju, lebih karena memang aku tak mampu.

Tiga tahun lalu nasib membawaku pergi, merantau yang sebenar-benarnya pergi, karena sebenarnya sudah sejak SMA aku tak lagi tinggal di desa ini. hampir separuh usiaku habis dalam perantauan. kesadaran akan sempitnya bergerak maju (bagiku) disini yang menuntunku untuk mengembara dari daerah ke daerah lain sampai akhirnya ke jakarta sampai saat ini. tidak lain aku lakukan untuk bisa terus bertahan hidup dengan sedikit kemampuan survival di dunia antah berantah bernama negeri sontoloyo ini.

Dua hari lalu, aku pulang, seperti yang orang-orang bilang "mudik" ke asal hidupku dimulai di muka bumi. beberapa malam sebelumnya, seorang teman berujar "kenapa sih, orang-orang pada heboh mudik, kan bisa menunggu seminggu setelah lebara, ambil cuti, lancar deh perjalanan". perkataan temen itu sempet mengganggu pikiranku sejenak, sampai akhirnya malam ini kurasakan yang sesungguhnya dari makna sebuah perjalanan melelahkan yang dinamakan "mudik".

Setiap malam 1 Syawal (tentunya setelah merujuk pada hasil sidang isbath departemen agama), terjadi aktivitas yang menarik di desaaku ini. selepas magrib, setelah sebagian banyak penduduknya menyelesaikan ibadah puasanya yang terakhir sebelum syawal, kalimat takbir berkumandang dimana-mana, lazimnya ditemui di semua bagian bumi ini yang bermayoritas muslim.

Masyarakat terlihat berlalu lalang di jalanan kampungku yang tak beraspal, membawa kerendeng, jinjingan yang terbuat dari anyaman plastik atau kantong jinjing jenis lain yang berisi kantong plastic kresek berisi beras seberat kurang lebih 2,8kg (sebagian lain bilang 2,5kg,wallaahu a’lam). Zakat, ya, memang itu yang sedang dilakukan warga di dusunku saat malam takbir, berbagi zakat fitrah kepada pihak-pihak yang berhak. Fakir miskin dan mujahid fii sabilillah adalah sasaran zakat yang biasa menerima zakat dari masyarakat. Mujahidin fii sabilillah disini adalah para kiyai, pengajar madrasah, guru mengaji, dan orang-orang yang mendarmakan hidupnya untuk berjuang di jalan Alloh.

Zakat fitrah yang memang wajib bagi umat muslim merupakan implementasi kesadaran berbagi dalam khasanah bermasyarakat umat muslim. Berbagi disini tidak hanya bermakna dari yang mampu kepada yang tak mampu, namun karena wajib, maka mampu atau tidak, akan menyisihkan hartanya untuk berzakat ini. Sungguh indah situasi berbagi yang ku alami di dusunku (dan di masyarakat muslim lainnya). Keindahan yang kudamba akan menjadi urat nadi kedamaian dunia.

Dan sampai mataku berkedip, tak mampu kuteruskan tulisan ini…ngantuk.

(semoga) bersambung.

(Malam 1 Syawal 1430 H, 03.00, dan disunting lagi 11 hari setelahnya). Read More..

Tak Ada Tawa Semu Di Sini

Kadang saat pekerjaan di kantor yang begitu menumpuk tak kunjung selesai, saat merenung, seringkali lamunanku tarantuk jauh pada kampung halamanku. kampung yang selaku dipenuhi tawa bocah-bocah yang bermain di sela-sela ladang dan sawah.



celoteh ponakan2 yang selalu membuat rumah kami ceria.



pada keremangan senja dan malam yang membuai.





pada pantai sejarak tempuh sepeminuman teh dari rumah...



tempat kami biasa mengadu kaki merebut satu barang berharga bernama "bola"



pokok-pokok nyiur yang tak henti menghidupi...



pasir-pasir pantai yang menyilahkan tubuhnya menjadi tempat mengais rejeki



kebahagiaan di dusun kami begitu indah, tawa ceria bapak anak yang tulus



kakak yang ikhlas menuntun adiknya



kebahagiaan bermain meski sendiri...



bahkan anjing-pun sangat menikmati hari-harinya



disini, kebahagiaan kami yang tak semu...



sekarang, kebahagiaan itu lekat dalam lamunan. Read More..

21 July 2009

Pulang (#1)

Setelah beberapa waktu,kusempatkan mengisi long weekend 18-19-20 Juli 2009 ini untuk sejenak menghela nafas segar di kedamaian tempatku lahir.

Di tempat ini, ya, tepatnya 26 tahun lalu aku lahir ke muka bumi. Tempat ini, sebuah desa di perbatasan wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat, desa yang terengah-engah mengikuti kemajuan jaman. Roda kehidupan berjalan lambat, karena memang jalan yang mesti dilalui oleh warganya amatlah penuh dengan rintangan.

1991, baru pada tahun ini desa kami bisa menatap dunia luar dengan sesungguhnya. Sebuah jembatan di atas Sungai Citanduy yang keruh menghubungkan wilayah kami dengan tatar Sunda. Harus kami akui bahwa perekonomian desa kami sangat tergantung kepada sistem produksi, distribusi maupun pemasaran dari dan ke daerah Ciamis di Jawa Barat. Hal yang sangat wajar, mengingat desa kami berada di ujung barat daya wilayah kabupaten Cilacap, kabupaten terluas di wilayah Jawa Tengah dan memang sangat luas sehingga terjadi ketidakmeratanya pembangunan di wilayahnya. Sehingga lebih masuk akal bagi kami untuk berinteraksi secara ekonomi dengan daerah Ciamis yang lebih dekat secara geografis.

Desa kami bernama, Sidamukti, dalam ejaan jawa halus barangkali akan menjadi Sidomukti, namun dengan dialek khas Banyumas yang tidak mengenal pengucapan “o” untuk huruf “a” maka jadilah nama desa kami Sidamukti. Sida=jadi, mukti=mulia/sejahtera. Nama yang mengandung isyarat doa yang sangat mulia, harapan yang sangat tinggi untuk masa depan. Belum pernah saya mencoba mengorek mengenai sejarah desa ini, yang terang sejak saya mengenal dunia, nama ini yang kukenal.

Sawah datar yang sangat luas, menghampar memenuhi hamper 2/3 wilayah desa ini. Sawah yang menghasilkan pada pada musim panen ini menjadi menjadi tumpuan hidup lebih dari 4000 warganya.




Mayoritas warga masyarakat di desa ini memang menyandarkan hidupnya pada hasil menanam padi. Sawah, sawah, dan sawah, hamparan luas lahan itu yang memberi kami makan.

(bersambung) Read More..

21 April 2009

Sepenggal Cerita Di Atas Kereta

Kereta, moda transportasi yang kini menjadi favorit bagi sebagian besar pemudik termasuk saya, kaum perantau yang berasal dari berbagai pelosok “ndusun” (istilah yang saya pakai untuk daerah di luar Jakarta) yang mengais rejeki di ibukota nan makin sumpek. Kereta dipilih karena memiliki beberapa kelebihan (juga menurut kami) antara lain relative lebih cepat dari moda transportasi darat yang lain, lebih tidak membosankan daripada bus misalnya dan dengan kapasitas angkut yang jauh lebih banyak tentunya…(ini subyektif saya lho…)

Dan pagi ini, kereta itu datang dari arah Kutoarjo, sebuah kota kecil yang ada di pesisir selatan Jawa meraung-raung dengan gerbong yang kalau tidak keliru ada 10 buah dan ditarik sebuah loko bertenaga diesel. Dipunggungku bersandar tas ransel tak terlalu besar berisi beberapa potong pakaian, tidak terlalu repot pikirku, melihat kerumunan calon penumpang yang makin terkonsentrasi di peron. Detik per detik berlalu ketika lokomotif berwarna putih dengan gagahnya memasuki stasiun, gujesss…gujess…gujess… Bersamaan dengan itu, nampak ratusan, bahkan mungkin ribuak tangan dan beberapa anggota tubuh lainnya yang keluar dari sela jendela kereta bisnis ini, dusss…terhenyak aku melihat betapa padatnya penumpang kereta ini.

Dengan sedikit memanfaatkan badanku, kupaksakan untuk bias menyela diantara kerumunan orang di bordes, setapak demi setapak aku cari kursi sesuai tiketku ditengah gerbong yang –Masya Alloh, ini pengalaman pertama- luar biasa penuh sesak. Sampai saat matari mulai bergeser sepenggalah, kaki ini tak lekas menemukan pijakan untuk sekedar merehat. Namun, ternyata lebih banyak hal yang bias aku dapatkan dari kejadian ini, lebih dari sekedar kalo aku duduk barangkali.

Sepanjang dalam perjalanan, mata dan perasaanku tak akan pernah lepas dari polah tingkah ribuan manusia yang berseliweran hilir mudik, tak lebih dari 20 senti dari mukaku, bahkan badan ini mesti berdesak singgung dengan mereka semua.
Yang pertama adalah sesama penumpang, tak ada proses formal kenalan, dan bahkan tak satupun dari mereka aku tahu namanya sampai turun kemudian, namun hal terbesar yang bisa aku petik adalah, perasaan kesenasib-sepenanggungan itu masih ada, ya, di tengah pergaulan “Bumi Manusia” yang makin masygul dengan pergaulan dalam arti yan sedalam-dalamnya. Aku ingat ketika anak muda yang ada disebelahku, menawarkan sejengkal ruang bagi badanku yang memang boros, lalu satu lagi pemuda dengan pakaian yang bisa dibilang lusuh (mengingatkan masa kuliah dulu), dengan tulus iklas (nampaknya begitu), membawakan tumpukan tas dan kardus bawaan seorang ibu yang pergi dalam sendiri. Lalu, ada mba-mba yang dari tas kecilnya dia keluarkan segenggam permen dan menawari kami semua yang berkerumus disekelilingnya…ahhh, benar2 sebuah nostalgia (dan harapan) akan indahnya hidup ditengah kehidupan yang makin kehilangan hangatnya.

Yang kedua, pedagang asongan yang hilir mudik berganti tak pernah lelah menawarkan dagangannya demi sejumput laba. Mulai dari yang paling lazim, kopi dan popmie, sampai makanan local yang selalu berubah di tiap pemberhentian, menawarkan variasi kuliner sederhana di tengah gerahnya suasana kereta. Motif ekonomi telah membuat, atau bisa jadi memaksa, mereka berpeluh, berdesak, dan dengan lincah menghindar dari kejaran segelintir polsuska yang –entah apa motifnya- mengejar2 dan mengusir “distributor” makanan berjalan bagi kami ini. Banyak diantara penumpang yang amat sangat terganggu dengan kehadiran mereka, bahkan saya juga dengan entengnya nggerundel atas kehadiran mereka, namun, lagi2 dengan lantangnya mereka bilang, “abot-abote golet duit mas”…ahaaaa, gambaran indah perjuangan akan kelangsungan hidup.

Selanjutnya adalah, -dan terakhir saya ceritakan, dan ini paling menarik-, gagahnya petugas penarik tiket disertai dengan aparat yang mengikutinya, dengan wajah garang dan gagah, bertanya kepada setiap penumpang “tiketnya mas/pak/mba/bu???”. Dan saat tiba di bordes, banyak hal menarik yang dapat kulihat, dan barangkali bagi orang yang biasa naik kereta ini hal biasa, transaksi “melegalkan” penumpang gelap untuk dapat disebut “penumpang”. Dan lebih menarik lagi adalah saat tangan yang disisipkan di kepalan tangan petugas, dirasa tidak memberikan lipatan yang tebal, dan yang keluar adalah kata atau umpatan….”kalo sampeyan ga bayar lebih, lebih baik turun di setasiun depan nanti saja!!!” Read More..

Malam "Towong" Hajatan Negeri...

Malem ini, kalo orang di daerah Banyumas dan sekitarnya pasti tau "malam towong", malam sebelum hari H hajatan...perumpamaan itu barangkali yang tepat buat bilang klo malam ini adalah "malam towong"-nya Pemilu. Tepat, pesta demokrasi yang benar2 "pesta" dalam arti sesungguhnya, karena hajatan demokrasi ini benar2 telah menjadi komoditas yang luar biasa nilainya, ibarat "pesta" pernikahan yang begitu glamour.
Saya jujur bukan orang yang tertarik dengan Pemilu, bahkan kalo boleh dibilang "apatis", cuma saya juga tak pernah benar2 menutup mata. jadi entah unek2 ini akan dibaca orang atoe ga...sekedar tulisan sambil nunggu macet.

Beberapa hari lalu saya ikut diskusi dengan narasumber dari satu NGO pengamat korupsi paling top di negeri ini, dan EO-nya adalahi salah satu organnya UN, diskusi itu bertema "Corruption and Ellection". dua hal yang mau ga mau akan selalu saling terkait.

Korupsi, hal "najis" yang semua orang waras pasti bilang "jijik", meskipun barangkali kita, atau tepatnya saya, seringkali menyentuh "barang najis" itu, dalam level sekecil apapun.
Pemilihan Umum, nah ini dia yang seringkali menjadi jembatan bagi terwujudnya perbuatan najis korupsi tadi...saya liat bagai apa yang banyak orang bilang, lingkaran setan, biadab!!!!
Saat pemilu ini, terciptanya pijakan awal bagi rangkaian korupsi tadi, donasi2 yang diberikan bagi peserta Pemilu, baik Partai maupun kandidat legislatif, menjadi semacam down payment yang akan ditukar dengan lembaran2 "konsesi", "kontrak", "proyek" dan berbagai macam "imbalan" lain, tentunya yang akan didapat donatur saat partai/caleg yang disumbangya terpilih.
Saya memang belum bisa membuktikan hal itu benar2 terjadi (atau barangkali ada yang bisa bantu saya??), tapi itulah yang saya tangkap sejak saya "ngeh" dengan yang namanya berita dan peristiwa.
Donasi2 (tendensius) seperti tadi yang akan membuat birokrasi cenderung mudah dipolitisasi....bah!!!!
tentunya muasalnya dari konsesi dkk yang dijanjjikan tadi.

Kalo inget2 pelajaran sejarah dulu (kalo ga keliru), dalam teori tentang pembentukan negara dikenal adanya "du contract social", dimana masyarakat saling mengikatkan dirinya dalam perjanjian untuk mewujudkan cita2 bersama....
ga tau nyambung ga, tapi di negeri tercinta ini, politisi dan orang kita begitu bangga dengan istilah (lagi2 bagh!!!!)...."kontrak politik".....yang seolah2 para calon pemimpin bangsa ini hanya membvuat kontrak dengan segelintir konstituennya saja, dan itupun belum tentu terwujud, ahhhh....

Balik ke saya, sampai detik saya menulis note ini, saya belum punya pilihan apa dan siapa yang akan saya contreng...atow kah saya harus bangga dengan menjadi gol***t....

(hanya unek2 saya yang apatis...." Read More..

Search Box