09 December 2010

(sudah) Akhir Tahun

September, Oktober, November, lebih dari 3 bulan sudah tak menyentuh lembaran ini, betapa sombongnya kamu Man, Man...(sebutlah umpamanya aku Giman). Dan tak terasa, sudah sepertiga bulan Desember hampir lewat, yang artinya dalam hitungan sekitar 20 hari lagi menjelang tahun yang baru. Dan tahun hijriah yang baru (1432 H) pun sudah menginjak hari yang ke-3.

Sudah terlalu banyak yang terlewat memang, masalahnya adalah apakah yang sudah terlewat itu adalah hal yang baik atau kurang baik, atau bahkan tidak baik, pilihan pertama tentu yang diharapkan.

Di tengah istirahat siang di kantor ini, rasa-rasanya kok pengen berada di sebuah desa pada lereng sebuah gunung dengan udaranya yang semilir kriyip kriyip...menemani istriku menunggu kelahiran anak pertama kami, menyuplai udara segar ke dalam sistem pernafasan sang jabang bayi, ahahahaaa....indahnya.


*seorang bocah menikmati kedamaian sebuah dusun di Banten selatan* Read More..

31 August 2010

Kunjungan Dari Lereng Pegunungan Kendeng



Pagi itu, menjelang siang, HP bututku berdering dan terlihat sebuah nomor tak dikenal masuk. Sempat linglung sesaat ketika suara di seberang mengaku bernama Juli, baru terang ketika menambahkan kata Baduy di belakangnya, “Juli Baduy nih…” terangnya. Kaget setengah tak menyangka juga “bocah gaul” dari pedalaman Pegunungan Kendeng itu sampai di Jakarta, “untuk kedua kalinya tahun ini”, akunya pada sore hari setelah sampai di tempat tinggalku.

Sore itu, di hari minggu terakhir bulan Agustus, Juli, Jali sang kakak, dan ayah mereka Kang Ardi sedang duduk menunggu di warung mie rebus di belakang sebuah hotel di bilangan Cempaka Putih saat kutemui mereka. Entah kenapa naluri menuntunku langsung menuju warung yang tetap buka di siang puasa ini, meski dari luar tak nampak ketiga orang Baduy Dalam itu. Sekedar ‘feeling’ mengatakan bahwa mereka pasti lapar setelah sedari pagi berjalan dari daerah Jakarta Barat menuju tempat ini, hahahaaa…(jangankan mereka yang jalan kaki, naik motor aja pasti dehidrasi di ‘hangatnya’ kota ini).


“jadi gimana, bisa ngga kita nginap di rumah?”, Juli tiba2 bertanya setelah ngobrol ngalor ngidul ga jelas.

“bisa, bisa, tenang aja”, sambil berpikir mau diajak nginap dimana mereka, mengingat aku dan istri tinggal di sebuah kontrakan kecil mungil yang pastinya bakal penuh sesak apabila mereka bertiga menginap malam ini.

Penginapan!?!!tepat sekali!!, sambil mensyukuri betapa strategis kontrakanku yang sempit ini, karena hanya berjarak sepelemparan batu dari sebuah penginapan sederhana namun cukup nyaman untuk ditinggali. Akhirnya malam itu, bagian dari keluarga Kang Ardi ini bermalam di penginapan tersebut, “punteun Kang, ga bisa menjamu di rumah, karena memang belum punya rumah, hahahaaaa…”, tawaku disambut cengiran mereka bertiga.

Dalam perjalanannya menemui beberapa teman di Jakarta ini, ternyata Juli sudah membekali diri dengan HP pinjaman temen Baduy Luar-nya, meski dia wanti2, “Om, jangan bilangin ke Jaro atau Puun ya kalau saya bawa HP”, ujarnya takut-takut. Saya ingat kalau gadget macam begituan belum boleh mereka miliki, dan memang bakal mubadzir kalaupun punya, lha wong di Cibeo ga ada sinyal sama sekali.

Dan hari ini, ternyata Juli sudah janjian dengan beberapa temannya yang lain. Petang menjelang magrib, datang seorang temannya, dan….jebul kakak kelasku kuliah, walahhhhh dunyane sempit temen. Dan malamnya datang lagi temannya yang lain, betapa istimewanya keluarga Baduy ini, temannya bertabur dimana-mana di kota ini. Sampai dia cerita kalau hampir ga pernah beli makan kalau di Jakarta, alias selalu ditraktir sama teman-temannya.

Malam itu, sebelum mereka istirahat, masih sempat kami ngobrol2 barang sejenak, tentang keluarga besar Ardi di Cibeo sana, yang tinggal di rumah panggung sederhana di kedalaman Kanekes, sampai pengalaman sepanjang perjalanan sampai ke ibukota ini. Termasuk si Juli yang ketemu wanita ibukota "pujaannya" yang katanya baru pulang dari Amerika, hohooooo...gaul abis bocah ini,

Dan setelah mereka terlelap, teringat perjalananku ke Baduy beberapa waktu lalu (ceritanya disini), teringat pula keramahan mereka yang tulus. Keramahan yang menjalinkan keakraban kami dalam silaturrahmi yang tulus. Dan terlintas dalam pikiran, suatu saat nanti akan kembali mengunjungi Kanekes dengan keindahannya, sambil membayangkan mengajak sang buah hati yang sedang kutunggu hadirnya...
Read More..

04 August 2010

Bekerja, Harapan dan Kesenangan



Tiga hari terakhir, aku terdampar di sebuah kota di pesisir timur Borneo, untuk kedua kalinya setelah tahun 2008 lalu, Balikpapan. Bukan untuk berlibur, kedua-duanya untuk bekerja, kalau ada teman bertanya jawaban yang keluar adalah "ada gawean kantor", ahhh klise memang.... Dua tempat kerja yang berbeda yang mengirimku kesini, memberikanku kesempatan untuk setidaknya menengok sisi negeri yang lain, meskipun tidak untuk bersenang-senang, namun sedikit banyak memberikan kesegaran akan hal-hal yang baru kutemui.

Beberapa tahun lalu, tepatnya saat-saat kuliah dulu, sebersit keinginan timbul bahwa aku akan bekerja semata-mata untuk kesenangan belaka, sekedar menikmati hidup. Waktu itu ingin kubiarkan kaki melangkah mengikuti keinginan, goin' where the wind blows kata Mr.Big. Keinginan itu banyak dipengaruhi oleh hasrat yang terbatas pada masa-masa kuliah, terbatas waktu, biaya, maupun kewajiban menyelesaikan kuliah.

Sesaat setelah mengalami sendiri memeras keringat, sedikit demi sedikit mataku terbuka, bahwa hidup ini benar takkan bisa semau sendiri, terlalu banyak faktor yang mempengaruhi manusia yang katanya mahluk sosial untuk menjadi egois, setidaknya begini pemikiranku.

"ra iso ngono dul, urip yo kudu di plening bener-bener, ra bisa sa karepmu...", masih teringat kata-kata seorang temen lama yang berhenti kuliah untuk bekerja, dengan logat khas jawa timuran. Lalu saat-saat pertama berada di kota ini, selepas lebaran empat tahun lalu, benar-benar menjadi saat-saat aku mulai membuka mata, bahwa hidup ini begitu berwarna.

Sampai kini, dengan kesibukan yang tak terlalu sibuk di tempat kerja, dan sampai saatnya pula kuputuskan memiliki keluarga dengan seorang istri yang luar biasa, yang sedang mengandung calon anak kami. Selama ini pula aku masih belajar mengenai tanggung jawab, sebagai lelaki, sebagai seorang suami, dan sebentar lagi (Insya Alloh) menjadi seorang ayah. Tanggung jawab tidak hanya untuk diri ini sendiri, tapi untuk semua manusia yang telah kulibatkan dalam kehidupanku, keluarga dan kawan-kawan. Tanggung jawab untuk menjadi manusia yang bisa menikmati hidup tanpa harus melupakan kehidupan lain yang ada di sekitarnya.


Terhadap pekerjaan yang menjadi tanggung jawabku, akan selalu kunikmati sebagai bagian dari pewarna yang akan membuat hidup ini makin indah. Berusaha pula menganggap segala tugas, beban sebagai kesenangan hidup. Menjalaninya dengan senyum dan tawa, sesulit dan semudah apapun itu. Maxim Gorky merumuskan hal ini dengan sangat baik, “Ketika pekerjaan adalah sebuah kesenangan, kehidupan ini akan menjadi sebuah kegembiraan. Ketika pekerjaan berarti sebuah tugas, kehidupan ini menjadi sebuah perbudakan”.

Pekerjaan, tidak bisa tidak, bagi sebagian orang, bahkan kadang saya masih belajar untuk tidak, masih menjadi beban belaka dalam hidupnya. Bahkan ada yang memutuskan tidak bekerja -dalam arti formal-, tidak terikat dengan kewajiban-kewjiban dari kantor, memilih pekerjaan bebas yang baginya bisa menimbulkan kenikmatan hati. Namun di sisi lain, banyak pula pekerjaan yang memang menjadi keharusan, seberat apapun pekerjaan itu, keharusan untuk sekedar menyambung hidup.


*foto diambil di Kota Tua, Jakarta*

Sampai saat harus kuselesaikan semua pekerjaan ini, dengan sedikit keluhan manusiawi, masih kukenang sebagai sebuah kesenangan dalam hidup.

*Balikpapan, 5 Agustus 2010*
Read More..

27 July 2010

Mbah Kakung, Kesahajaan dan Petuah Bijak



Mbah Kakung kami yang luar biasa, terkesan berlebihan? namun setidaknya begitu bagi kami, anak, cucu dan cicitnya. Dengan 8 anak, Mbah Kakung (demikian panggilan kebesaran beliau) masih tetap segar di usia yang sejenak lagi akan menuju satu abad. Lahir pada awal abad 20, tepatnya 1912, yang berarti usia sekarang pada angka 98tahun, usia yang luar biasa untuk ukuran manusia sekarang, Mbah Kakung masih setia mengawal perkembangan anak, cucu dan cicitnya menjalani keseharian.


Di usia yang menjelang seabad ini, dengan fisik yang sebenernya renta, Beliau tak lelah berjalan kaki menyambangi anak cucu yang tinggal tak jauh dari rumah Budhe, anak tertua yang ditinggalinya. Dikala matari baru sepenggalah melangkah, Mbah Kakung sudah duduk di teras rumahku, dengan sekotak tembakau “mbali”-nya, kertas rokok yang dengan pasrah “dilinting” jemari simbah yang telah berkerut, dan geretan berbahan bakar bensin. Dengan teh tubruk yang hanya orang tertentu yang buatannya disukai embah, dan biskuit “roma kelapa” favoritnya. Kadang tak lupa Beliau menenteng kotak radio transistor kesayangannya, yang didengarkan bukan lagu-lagu melankolis atau sandiwara radio, melainkan berita politik yang telah menjadi menu wajib.

Teringat waktu masih kuliah hukum dulu, seringkali Mbah Kakung menanyakan istilah-istilah hukum yang didengarnya dari berita radio, semisal “Li, bedane kasasi karo banding kuwe apa?”. Sampai sekarang, saat aku pulang ke rumah, hal-hal yang ditanyainya masih seputar kasus aktual, “kae Urip kok bisa kaya kae, aja melu-melu ya!” (saat kasus Jaksa Urip), “Gayus kepriwe siki kae, kok bisa-bisane korupsi?”, sampe yang membuatku tergelitik “Iqbal wonge kepriwe nang kantor, deneng kecekel KPK?”, Mbah Kakung menanyakan tentang kasus Mohammad Iqbal, seorang komisioner pada sebuah kantor komisi, lembaga non-departemen tempatku pernah bekerja, nah lo???sampe saat Beliau menyemangatiku, “Kowe kapan arep ndaftar dadi hakim MK kaya Mahfudz??”, hahaaaaa, Mbah, pangestune putu nggih Mbah….(harapan tulus dari seorang kakek ke cucunya yang bodoh, sing penting aminnn).

“priatin, loman, jujur”

Wejangan yang selalu tak pernah lupa Mbah Kakung sampaikan saat ku pulang. “Priatin” (prihatin), beliau selalu menyarankan untuk prihatin menghadapi segala persoalan hidup, berpasrah diri dan berusaha kata Mbah Kakung. Beliau selalu punya benchmark untuk wejangan ini, Mbah Buyut (bapak dari Mbah Kakung), yang selalu berpuasa sepanjang tahun -kecuali hari yang ga bole puasa tentunya-, dari mutih sampe ngrowod (puasa dan ga makan nasi), prihatin dengan kehidupan, dan mampu menjalaninya dengan indah.

“Loman”, atau “lomo”, Beliau artikan sebagai dermawan, ringan tangan memberi bantuan. Karena apa yang kita berikan, sesedikit apapun dengan keikhlasan kepada yang membutuhkan, tak akan pernah hilang begitu saja, sebaliknya akan berlipat ganjaran yang kita terima, jangan pernah menjadi pelit, demikian Mbah Kakung berujar. Aku membayangkan, dengan kondisi ekonomi keluarga besar kami yang biasa-biasa saja, Mbah Kakung bisa berprinsip seperti itu, aku yakin hatinya sangat kaya. Dan terbayang pula, kalau semua orang berpunya di negeri ini memiliki prinsip “loman”, barangkali tak ada orang miskin di negeri lohjinawi ini *nyawang ngawang*.

Seolah mengambil hikmah dari fenomena korupsi di negeri ini, Mbah Kakung selalu membekaliku pegangan setiap aku pamit berangkat ke Jakarta, kejujuran. “Jujur”, kata beliau, adalah kunci kemaslahatan dalam menjalani hidup. Jangan pernah mengambil yang bukan hak kita, dalam pekerjaan maupun dimanapun. Jangan pernah tergoda yang namanya korupsi, apapun bentuknya. “nek nang kantor, sing jujur, kerja ra sah ngarep sing macem-macem, pokoke kerja sing bener”.

Mbah Kakung, saat sore dan menjelang malam, di atas peraduannya, di atas sajadah tua, dengan berteman tasbih, tak pernah berhenti berdzikir di sisa harinya. Semoga keselamatan, kesehatan dan berkah Gusti Alloh selalu tercurah untukmu Mbah.
Read More..

21 July 2010

Pancimas, Dilema Jalur Wisata (plus info angkutan umum)



Teringat olehku awal tahun 1990-an, sebuah jembatan dengan panjang sekitar 90m dibangun melintas diatas sungai Citanduy, sungai yang memisahkan Kabupaten Cilacap di Jawa tengah dan Ciamis di Jawa Barat. Satu terobosan yang kelak akan mengubah geliat perekonomian masyarakat di Cilacap bagian barat. Pancimas, demikian jembatan itu dinamai, serupa dengan nama jalur jalan yang menghubungkan daerah wisata Pangandaran, menuju wilayah Cilacap dan Banyumas, jadilah istilah pancimas, Pangandaran-Cilacap-Banyumas.

Bukan kebetulan kalau saya dilahirkan di daerah yang dilewati jalur Pancimas tersebut, karena memang tidak ada kebetulan di dunia ini. Seingat saya, jalan di jalur itu sedari awal tahun 90-an sampai sekarang, sudah puluhan kali mengalami perbaikan, karena memang jalan yang rusak telah menjadi hiasan yang identik dengan jalur Pancimas. Dengan intensitas lalu lintas yang ramai dan potensial, dari berbagai sudut kehidupan masyarakat, menjadi hal yang aneh ketika jalan di jalur ini tak juga layak lewat. Harapan datang ketika proyek JSS (Jalur Selatan-Selatan), proyek pembangunan jalan yang konon akan menghubungkan Pemeungpeuk dai Garut, Jawa Barat, sampai daerah Parangtritis di Jogja sana, melewati pesisir selatan Jawa, padanan Pantura barangkali. Tapi entah kapan ini terealisasi….???

Pancimas, sebagaimana namanya, memang menghubungkan daerah wisata Pangandaran, tujuan wisata utama di daerah pesisir selatan Jawa Barat, siapa yang tak mengenalnya. Pantainya, dengan pilihan pantai buat berenang, pendaratan kapal nelayan, berjemur di pasir putihnya yang eksotik, cagar alamnya yang menyimpan kekayaan hayati yang tak ternilai, sampai sepenggal sejarah perjalanan negeri melalui peninggalan masa2 kolonial. Bagi wisatawan yang berasal dari arah Bandung dan Jakarta, tidak akan kesulitan dengan masalah transportasi, serta jalan yang mulus, bahkan dengan adanya rute penerbangan baru yang dibuka oleh maskapai Susi Air, maskapai yang dimiliki oleh saudagar asal kota wisata ini, Susi Pujiastuti.

Namun, tentunya yang tertarik dengan Pangandaran ini bukan hanya orang Bandung atau Jakarta, tak kurang pengunjung yang berangkat dari arah timur Pangandaran, Cilacap, Purwokerto, sampai Jogjakarta. Disini masalahnya, jalur Pancimas yang menyediakan jalur jalan dari arah timur menuju Pangandaran tak sebagus jalan ke arah barat. Jalanan penuh lobang, angkutan umum yang tak ada lagi selewat pukul 18.00, huffff….nampaknya mereka mesti bersabar menungg proyek JSS terwujud.

Namun bagaimanapun, kendala sarana dan prasarana transportasi tak bisa menyurutkan peminat wisata Pangandaran, alternatif wisata semua kalangan, terjangkau mulai kalangan kuli, buruh, artis, eks TKI/TKW, sampai bule-bule pemburu kehangatan pantai, ghrrrrrzzzz.... Dan memang pengaruh wisata Pangandaran telah begitu besar bagi perekonomian masyarakat di sepanjang jalur Pancimas, Kabupaten Ciamis di Jawa Barat dan Cilacap di Jawa Tengah utamanya.

Harapannya, hegemoni proyek Pancimas yang sekarang tergantikan dengan gaung proyek JSS bisa menjadi harapan bagi perekonomian masyarakat di sepanjang jalur itu, tidak lagi menggeliat tapi bangun, nah….. Tidak ada lagi jalan “angkluk-angklukan” macam sungai kering, dan banjir di daerah aliran sungai-sungai di sekitarnya.

Alternatif transport menuju Pangandaran lewat jalur Pancimas:
1. Dari Purwokerto
Dari kota Kripik Purwokerto bisa langsung menggunakan bis tanggung 2 pintu trayek Purwokerto-Pangandaran, ada 2 bis yang beroperasi, Budiman dan Limex, mulai pukul 03.00 dinihari sampai siang hari. Alternatif lain dari Purwokerto bisa naik bis tanggung juga menuju Sidareja (kota kecamatan di Cilacap), lanjut naik bis sejenis jurusan Sidareja-Pangandaran, alternatif ini lebih banyak pilihannya.

2. Dari Jogjaaaaaa
- Bis
Bis besar (Efisiensi, Raharja, dsb) menuju Cilacap, dari Cilacap bisa terus naik bis tanggung 2 pintu rute Cilacap-Sidareja-Pangandaran.
Bis besar lewat Purwokerto, bisa lanjut sesuai alternatif ke-1.
- Kombinasi kereta api dan bis
Kereta api, angkutan masal ini, dapat ditempuh dengan rute Jogja-Sidareja, dari Stasiun Lempuyangan, banyak kereta ekonomi jurusan Bandung yang berhenti di Stasiun SIdareja. Dari Stasiun Tugu, hanya ada satu kereta Bisnis jusrusan Bandung yang berhenti di Stasiun Sidareja, Kereta Lodaya, pagi dan malam.
Dari Stasiun Sidareja, bisa langsung naik bis jurusan Cilacap-Pangandaran atau Purwokerto-Pangandaran dari depan stasiun,atau kalau mau pasti dapet, bisa naik delman dengan waktu tempuh sekitar 1o menit menuju Terminal Sidareja, lanjut deh ke Pangandaran…..
- Travel
Setahu saya memang ada travel Pangandaran-Jogja, karena kebetulan lewat jalan di ndusun saya. cuma informasi yang saya punya sangat terbatas. tapi nampaknya info tentang ini tak akan kurang dari Mbah Gugel.

Sayang info tarifnya saya tak bisa menulis disini, takut tidak akurat, dan nampaknya memang begitu, setelah kenaikan BBM yang terus terusan....hohohooo...

Catatan:
Dua alternatif ini tantangannya sama, siap2 naik bis berasa naik kuda….gludak gludak….ketuplak!!!!
Read More..

20 July 2010

Jakarta, Pagi Hingga Malam





Pagi tadi, dalam perjalanan menuju tempat nguli, saya dan istri yang berboncengan sepeda "montor" menjadi saksi betapa kehidupan di ibukota ini telah begitu berwarna. Seorang pengendara sepeda motor berjaket pola 'kulit macan', bercelana training, bersepatu olahraga bertuliskan nama sebuah instansi, melaju di lajur yang salah, tepat berhenti di samping motor kami, pada sebuah pertigaan di bilangan Kramat Raya. Sebelum berhenti, sang pengendara yang seharusnya melaju di lajur kanan mengambil lajur kiri yang mestinya menjadi jalur pengguna jalan lain, karena dia hendak berbelok kekanan (setidaknya itu yang kulihat).

Seorang polisi yang berada di tengah lintasan menegurnya, tidak halus2 amat memang, tapi itu memang menjadi wajar ketika niat mulianya mengarahkan pengguna jalan tak dihiraukan *emang ga pernah enak kalau dicuekin*
"saya mau ke kanan", sang pengendara menjawab "saya dari **********", lanjutnya seraya mengatakan sesuatu profesi, jabatan atau apalah namanya yang memang tergambar dari pakaiannya.

Si Polisi tak habis akal "sampeyan berada di jalur yang salah, sudah saya arahkan", si Polisi menerangkan.
"tapi saya.....bla...bla...bla...", si Pengendara menjawab dengan nada makin tinggi.
"sampeyan kalau mengaku ******** dan ga mau diatur, setidaknya kasih contoh masyarakat" si Polisi tak mau kalah.
Sampai saat lampu "bang-jo" menyala hijau, tak juga ada senyum menghiasi keduanya, si Polisi dengan muka kesal mengalah (masih banyak yang masih mau diatur, barangkali begitu pikirnya), mengambil posisi menjauh dari si Pengendara. Sebaliknya si Pengendara, dengan gagahnya memacu motor kecilnya meninggalkan pertigaan (ahhhh, saya menang....bisa jadi begitu di benaknya).

Peristiwa yang terjadi tak lebih dari 3 menit pagi tadi bukan hal yang aneh di kota ini. Kesemrawutan di jalan, penghuninya yang musti berpacu dengan waktu, saling menarik urat marah denan pengendara lain, asap yang menghitam, bukan hal yang aneh dan menjadi bumbu dari yang namanya hidangan prasmanan ibukota.

Kesabaran menjadi hal yang mutlak dibutuhkan kalau kita tidak ingin berlelah-lelah terjebak dalam rutinitas yang penuh tekanan. Persoalan hidup di ibukota tidak akan berhenti bahkan ketika kita terlelap sekalipun, tak ada yang pernah yakin bahwa udara yang kita bawa ke dalam mimpi itu bersih, rumah yang kita tinggali aman dari banjir atau bahkan baru2 ini yang lagi ngetren, ancaman "bom 3 kg", wuffff....indahnya. Sampai pada persoalan yang timbul dari rutinitas yang bisa menjadi sangat menjemukan, ya..., pekerjaan.

Sesaat mendengar kata "pekerjaan", saya teringat sebuah kalimat yang terukir pada selembar post-it kuning di depan meja kerjaku "Bila pekerjaan adalah kesenangan, hidup adalah kenikmatan. Bila pekerjaan adalah tugas, maka hidup adalah perbudakan", begitu setidaknya petuah dari seorang Maxim Gorkhy. Kata2 yang barangkali masih menjadi pajangan di tembok2 mimpi saja. Makian, keluhan, umpatan, bukankah itu manusiawi dalam keseharian??yang bisa jadi disebabkan tekanan pekerjaan rutin, dan sebab lain yang telah begitu komplek mempengaruhi keseharian manusia di kota ini.

Kembali tentang kesabaran, hal yang menjadi "modal dasar" kalau tidak mau dikatakan wajib dimiliki setiap orang yang menggantungkan nasib pada kehidupan kota ini. Hari, yang di kota ini akan menjadi lebih panjang daripada di kota2 lain di negeri ini, bukanlah suatu keadaan diam yang akan membungkus kita dalam rutinitas belaka, tapi dinamikanya telah menjadi luar biasa untuk dinikmati, bagi yang memiliki "modal dasar" tadi tentunya. Jam kerja, yang lazimnya diawali antara pukul 7-8 setiap harinya, diakhiri sekitar pukul 17, dan akan berlanjut bagi yang memang harus berlanjut, kadang sampai berganti hari, akan menjadi neraka bagi yang tidak mampu menikmatinya.

Dan, sampai saatnya penat itu harus dilepas, berganti dengan baju mimpi, bisa jadi cuma ada sekerumus harapan yang menjadi selimutnya. Harapan bahwa besok kita masih bisa bernafas, hidup, menghadapi masalahnya, karena bumi kita masih "bumi manusia, dengan segala persoalannya, bukan sekedar pangkat dan jabatan".

*masih bermimpi kelak pulang kampung, mbangun ndesa, ahahaaa....*
Read More..

12 July 2010

orchid and lotus





Suatu waktu, sengaja beberapa teman mengajakku jalan2, sekedar menghirup udara segar dari Buitenzorg. Tujuan utama tentu Kebun Raya Bogor, tempat yang tepat buat ngadheeeemmmmm....dan akhirnya kesampaian juga mengunjungi kebun anggrek, pusat penangkaran anggrek yang ada di KRB ini. Hanya beberapa kuntum yang terekam, namun kecantikannya sanggup menceritakan sejuta kisah keindahan....

putih, bersih, berhias sedikit ungu, setangkai anggrek ini melayang-layang melempar senyum yang tak pernah habis.


Sekali lagi, putih dan ungu....

Warna-warninya...


so soft....



berbaris tiga-tiga...



the whites...



the whites...

lotus in front over the palace....


the boy statue

lonely lotus

jalan-jalan yang sejenak, sekedar memberikan hirupan segar bagi paru-paru....ghrrsrsrsrrrrrr
Read More..

08 July 2010

Because It’s There





“Because It’s There”, rangkaian kata yang menjadi sangat popular bagi para pendaki gunung (penjelajah pada umumnya), “karena dia disana”, jawaban yang sederhana lugas dan mencerminkan sebuah keadaan yang tidak bisa digambarkan dengan kata2 lagi ketika muncul pertanyaan “kenapa anda naik gunung?”. “Because it’s there” adalah 3 kata yang diungkapkan George Leigh Mallory, saat ditanya oleh New York Times alasan mendaki Mount Everest pada awal 1920-an.

Mountaineering atau lebih dikenal dengan pendakian gunung dalam bahasa sehari-hari, bagi sebagian orang tampak seperti aktivitas yang konyol. Saat sebagian besar orang sedang terlelap berselimut dalam kehangatan di atas tempat tidur pada musim hujan, para pendaki gunung biasanya sedang bergelung diiris udara dingin yang setajam pisau, atau berselimut mantel yang tetap tak mampu menjaga tubuh tetap kering saat hujan turun. Saat sebagian orang sedang menikmati berkumpul dengan keluarga dirumah, sebagian lain pendaki memacu otot dan otak menapaki permukaan bumi yang miring setapak demi setapak menuju puncak. Dan hanya sebagian kecil dari pendaki gunung yang dapat menceritakan alasan mendaki gunung, sebagian besar lainnya bisa dikatakan sepakat dengan Mallory.

Pendakian gunung hanyalah salah satu dari berbagai aktivitas yang biasa disebut “outdoor activities”. Arung jeram, penelusuran gua, panjat tebing, penelusuran pantai, jelajah gunung hutan, diving, snorkeling, sampai sekedar jalan2 wisata yang popular dengan istilah “backpacking”. Berbagai aktivitas tersebut identik dengan kenikmatan bercumbu dengan alam, namun memang pendakian gunung (bagiku) memiliki nilai ‘spiritualitas’ yang berbeda.

Ketenangan yang tercipta di puncak sebuah gunung, menghayalkan damainya mayapada yang diceritakan dalang, dan sejenak bisa menjadi pintu kematian saat lengah. Anginnya yang dingin menusuk tulang, ngilu, namun memberikan ketenteraman yang luar biasa. Sengat matari yang membakar kulit, sejenak akan menjadi sinar kehangatan yang meredakan batin dari kepenatan.

Hanya beberapa gunung yang pernah kudaki, itupun gunung dengan ketinggian di atas 3000mdpl dan tak lebih dari 3500mdpl, tapi saya selalu mencintai hal-hal yang berkaitan dengan gunung, cerita-cerita tentangnya, eksotisme gunung,sampai tragedi-tragedi pada pendakian gunung. Into Thin Air, Three Cups of Tea, sampai kisah mengharubiru tentang Soe Hok Gie dan Norman Edwin.

Hingga sampai saat ini, saat waktu susah berkompromi dengan keinginan, hasrat untuk menikmati eksotisme gunung dengan hutan dan lembah2nya masih menggebu-gebu, entah sampai kapan bisa benar terwujud keinginan itu. Dan tak terbayang pula apakah badan yang telah begitu rapuh digerogoti aktivitas harian ini bisa toleran diajak berlelah barang sejenak. Yang pasti, tak akan luntur kecintaanku pada gagahnya gunung yang menjulang tinggi, tegar menantang badai hidup.

Dan untuk itu, hanya ada satu alasan, “because it’s there”.
Read More..

21 June 2010

Stasiun Tanjung Priok (Romantika Kota Tua Jakarta#1)





Berdiri di utara Jakarta, hanya sepelemparan batu dari Pelabuhan Tanjung Priok, dan tak dapat dipisahkan dari terminal bis dengan nama sama yang ada didepannya. Stasiun Tanjung Priok, setelah sekian lama terlelap berselimut debu, tak peduli dengan kesibukan pelabuhan, keruwetan terminal, dan kekumuhan pemukiman di sekitarnya, pada 2009 resmi dibuka kembali dan beroperasi layaknya stasiun komersil yang lain.

Dahulu kala, stasiun ini merupakan gerbang kota Batavia, letaknya yang persis di muka pelabuhan, menjadi penghubung laut dengan kota Batavia yang berada di selatannya, dan kota2 lain di Jawa, diantaranya Buitenzorg (Bogor kini).

Dan Minggu pagi, 20 Juni, dua orang teman mengajakku menengok peninggalan penuh sejarah itu. Dengan waktu yang singkat karena memang belum berniat berlama2 di situ, sedikit rekaman gambar menceritakan "denyut nadi" Stasiun Tanjung Priok kini, tepatnya rekaman di seputar peron utama. Diawali dengan bertemu petugas keamanan dan Kepala Stasiun, kami menyampaikan izin "berwisata", dan dengan sedikit basa-basi kami berpura2 layaknya pelancong beneran, ahahahaaa....


kawan "penginyongan" yang mengajakku jalan pagi itu, Ipung & Dani.



"Akhir Perjalanan"
Peron utama hanya terdiri dari 6 lajur spoor, berujung pada stopper.

"Menerobos"
Cahaya matari yang menerobos masuk dari sela atap, struktur bangunan yang indah, keadaannya yang lengang, lebih tepat menggambarkan stasiun ini sebagai cagar budaya, dan nampaknya lebih baik begitu, daripada sebuah stasiun komersial. Keindahan bangunan utama yang berlanggam art deco, hall utama, selasar, lobi, peron, sepur, semua terjaga kebersihannya, hanya ada beberapa sampah teronggok dan masih manusiawi.


"Bersilang"
Hanya ada 6 lajur sepur yang ada di stasiun ini, senyap dan damai.


"Melihatmu"
Menara, kembali aktif setelah sekian lama terlelap dari tugas-tugasnya mengatur dan mengawasi lalu lintas kereta.


"Menunggu"
Hanya ada Kertajaya dan sebuah kereta barang yang menunggu perintah jalan pagi itu.


"Sekali Sehari"
Memandikan Kertajaya, sebelum menempuh ratusan kilometer menuju ujung timur Jawa.


"Taman Mimpi"
Tunawisma yang menjadikan stasiun sebagai rumah, berselimut debu.

"Taman Mimpi 2"
Berselimut debu, dari bawah Kertajaya.


"Full AC"
Emplasemen stasiun layaknya hotel, angin laut yang berhembus damai membius 'manusia stasiun' ini terlelap dalam beralaskan lantai polos.


"Full AC 2".

"37, 38, 39"
Tuas pengatur perpindahan sepur, dari sini petugas pengatur menentukan arah sepur yang akan dilewati kereta.

"Menahan"
Di stopper ini semua kereta yang masuk stasiun mengakhiri perjalannya.

"Ngerumpi"
Entah apa yang mereka bicarakan, yang jelas kedua anak kecil itu nampak begitu menikmati harinya.


Ahaaaaa....setelah sejenak melihat2 stasiun, sekedar bernarsis dengan latar belakang KRL yang meninggalkan stasiun.

Di bawah menara pengawas.

Ahhhh, terlalu sebentar ternyata meluangkan 2 jam di pagi itu, masih banyak bagian stasiun yang belum kami jamah, hall utama, ruang dansa, bunker penuh misteri di bawah stasiun, sampai kehidupan masyarakat pesisir di sekitar stasiun. Lain waktu barangkali akan lebih luang bagi kami kesana. Sambil berharap Stasiun Tanjung Priok masih tetap bersih, senyap dan damai seperti pagi itu.
Read More..

12 May 2010

Bangka, a part of "The Indonesian Tin Belt"

Bumi Serumpun-Sebalai, begitu orang Bangka menyebut pulau yang mereka tinggali, memiliki keunikan dan ke-khas-an yang tak dipunyai daerah lain. pantai di pulau ini yang hampir semuanya tertutup pasir putih, bagai hamparan kapas tampak dari ketinggian, bertabur titik-titik keperakan batu granit yang tersiram cahaya matari. sungguh lukisan yang menakjubkan...

dibalik buminya yang indah, Bangka menyimpan potensi alam yang luar biasa berupa kandungan biji timah yang melimpah, bahkan bisa dibilang setiap jengkal tanahnya mengandung biji timah, Subhanallah...

Timah ini pula yang mengundang bangsa-bangsa asing pada masa lalu menjadikan Bangka sebagai pusat penambangan timah di Asia Tenggara. Daerah kepulauan Bangka Belitung sering disebut sebagai "The Indonesian Tin Belt", yang merupakan bagian dari sabuk timah Asia Tenggara.

Penambangan timah di Pulau Bangka telah berlangsung ratusan tahun lalu, dan sampai sekarang timah tetap menjadi primadona penghasilan masyarakat, seiring dengan dilegalkannya tambang timah rakyat. Dahulu penambangan timah hanya dikuasai oleh beberapa perusaan saja, terbesar PT. Timah, namun kini bermunculan beberap perusahaan kecil dan tentunya kelompok2 masyarakat yang menambang timah secara mandiri bekerja dalam kelompok 2kecil.


*hamparan ladang tambang timah rakyat*

Penambangan timah oleh perusahaan2 dan masyarakat yang cenderung kurang terkontrol ini, pada beberapa sisi memunculkan efek yang dilematis. cerukan2 besar bekas tambang -masyarakat setempat menyebutnya kolong- cenderung lebih banyak yang dibiarkan terbuka dan terbengkalai, namun ada beberapa orang yang justru menganggap kolong 2 besar ini bermanfaat sebagai tempat penampungan air hujan. tapi entah apakah ini sebanding dengan pepohonan yang harus rela mati demi terkeruknya biji timah???


*menjaga mesin pompa air tetap bekerja*

*penambang rakyat*

*memisahkan biji timah*

Penambang2 rakyat yang bekerja berkelompok, menggunakan peralatan yang sederhana untuk menambang timah dari bumi Bangka. Mulai dari mengeruk pasir yang mengandung biji timah, memompa air untuk mencuci dan memisahkan biji timah dari pasir, sampai mengumpulkan biji timah, dilakukan dengan kerjasama beberapa orang. biji timah yang terkumpul dijual pada pengepul dari beberapa perusahaan yang sudah menunggu, dengan harga yang sangat fluktuatif.

naik turunnya harga timah dunia sangat berpengaruh pada kondisi perekonomian masyarakat Bangka, harga timah yang tinggi akan (sangat) meningkatkan daya beli masyarakat, sebaliknya apabila harga timah dunia turun, perekonomian masyarakat juga cenderung lesu.

*biji timah*

*hasil hari ini*

Ada beberapa hal yang menggelitik penulis, timah sebagai sumber penghaslan merupakan barang yang tak terbarukan, sampai pada suatu saat nanti kandungan biji timah di bumi Bangka akan semakin menipis dan habis, lalu apa lagi yang diharapkan dikeruk dari bumi Bangka.

Seandainya sampai saat ini semua masih baik-baik saja, lebih karena Tuhan membekali bumi Bangka dengan kandungan timah yang melimpah, tapi apakah karena itu membatasi kearifan berpikir kita untuk mengeruknya secara lebih bijak??

Semoga Bangka, pada masa datang, tetap menjadi bumi yang indah dengan segale pesonanya, dan kesadaran bahwa keindahan alam Bangka jauh lebih berharga dari kandungan rupiah berupa biji timah di dalamnya.

(12 mei 2010, save our earth) Read More..

13 April 2010

"Huma di Atas Bukit"

Persaudaraan Dalam Kesahajaan Yang Tak Mengenal Batas

“Sekelompok anak muda berumur 20-an berjalan menahan lelah menyusuri tepian hutan, pada sebuah petang di lereng Gunung Slamet. Hujan yang mengguyur membuat tubuh dan barang bawaan mereka basah, taka da lagi yang tersisa untuk dibuat alat pelindung dari hujan. Pada sebuah jalan makadam di tengah hutan pinus, mereka bertemu seorang petani tua dengan istrinya yang nampaknya juga menahan letih dalam perjalanannya pulang ke rumah setelah sehari memeras keringat menahan encok di ladang. Sekelompok muda-mudi yang kelelahan itu menyapa dan terjadi obrolan singkat dengan sepasang petani tua, tentang asal-usul dan maksud ada di tempat yang jauh dari perkampungan di tengah hujan lebat. Singkat cerita, sepasang petani tua tersebut menawarkan sekelompok pemuda itu untuk menginap di rumah mereka di dusun. Setelah dengan sedikit basa-basi, akhirnya setelah melihat kenyataan kondisi yang kelelahan dan masih jauhnya tujuan akhir mereka serta susahnya membuka tenda untuk bermalam, mereka menerima tawaran bapak dan ibu petani itu dengan suka cita”


Sekelumit cerita di atas kudapat dari beberapa seniorku di perkumpulan mahasiswa kami di kampus. Survei lapangan yang mereka lakukan untuk kegiatan pendidikan dasar (diksar) perkumpulan penggiat olahraga alam bebas di kampus kami ini memang selalu akrab dengan hujan yang menjadi ciri hutan tropis seperti hutan di lereng Gunung Slamet. Pertemuan senior kami di perkumpulan tersebut yang terjadi sekitar tahun 2000-an mengantarkan kami pada pertemanan, persahabatan dan sampai sekarang telah menjadi persaudaraan dengan keluarga besar Rasito dari Dukuh Windusari di lereng Slamet. Bahkan secara umum masyarakat dusun paling atas sebelum hutan Slamet tersebut selalu ramah saat menjamu kami di dukuh mereka.

Rumah yang terletak di pinggiran Dukuh Windusari sekitar 200m dari batas vegetasi hutan pinus Gunung Slamet itu tidak lagi bisa dikatakan sederhana sebagaimana rumah2 lainnya di kampung kecil itu. Konstruksi fondasinya batu kali, dinding batu batanya berplester, lantainya keramik putih, jendelanya berkaca bening, atap genteng, sofa kulit imitasi, bahkan televisi plus DVD player telah menjadi pelengkap rumah itu. Namun, ‘kemewahan’ rumah keluarga Bapak Rasito itu tak bisa menutupi kesahajaan dan keramahan keluarga Rasito yang memiliki beberapa anak dan beberapa diantaranya pergi merantau ke luar daerah, bahkan sampai ke luar negeri. Posisi rumah yang tak kalah dengan villa peristirahatan milik orang-orang kaya yang benyak terdapat di Baturaden (sekitar 1,5km dari Windusari) membuat kami selalu betah berlama2 disitu, dengan hamparan sawah padi di depan rumah, dan pandangan jauh yang akan membentur pada lanskap kota Purwokerto, serta gagahnya Gunung Slamet di latar belakang rumah, sempurna.

(capture jadul, 2003)

Aku yang berkenalan dengan keluarga tersebut sekitar sewindu lalu telah merasakan tulusnya persaudaraan kami, bahkan sampai saat saya didapuk menjadi saksi pada pernikahan anak terakhir keluarga Rasito, Rasikun, pada tahun 2006 lalu, sungguh suatu penghormatan yang luar biasa bagiku. Kegiatan perkumpulan kami yang memang rutin kami lakukan di hutan seputaran lereng Slamet, mulai dari survey diksar, diksar, diksar lanjutan, latihan orienteering, simulasi Search and Rescue (SAR), membuat hubungan anggota dari perkumpulan kami makin dekat dengan keluarga tersebut. Sudah menjadi kebiasaan beberapa dari kami yang selalu menyempatkan sekedar numpang ngopi di rumah keluarga Rasito, sembari bercerita ngalor-ngidul.

***

Beberapa hari lalu, 10 April 2010, keluargaku di sebuah desa di Cilacap sedang berhajat ngunduh mantu pada rangkaian pernikahanku. Sebelumnya pada seorang kawan di Purwokerto, kutitipkan pesan untuk menyampaikan kabar bahagia pernikahanku pada keluarga Rasito, dengan berharap mereka memiliki kesempatan untuk datang. Dan sore itu, selepas magrib ditengah gerimis yang turun di sela acara kami, dengan diantar oleh kawan2 di perkumpulan HMPA Yudhistira, keluarga Rasito datang dari jauh, Bapak, Ibu, Rasikun, serta si kecil Intan dan Agung, dengan terlihat letih tersenyum seakan ikut merasakan kebahagiaanku. Sungguh suatu kejadian yang membuat saya terharu, dengan segala kesederhanannya, mereka tetap meluangkan waktu untuk mengucapkan selamat secara langsung kepadaku. Dan dengan ini, sekali lagi aku ingin membagi kebahagiaan ini dengan mereka.

Tak pernah terbayangkan olehku, jarak antara rumah keluarga Rasito di lereng Slamet dengan rumahku yang cukup jauh, tak menjadi penghalang bagi mereka untuk datang ke acaraku. Dan rasa berasalahku timbul karena setahun terakhir aku belum berkesempatan silaturrahim ke Windusari.

Senyum tulus yang senantiasa tergambar dari wajah mereka, selalu megningatkanku bahwa persaudaraan tidak mengenal batas ruang, waktu, apalagi hubungan darah. Semua terkikis oleh rasa ikhlas untuk saling mencurahkan kebahagiaan, kegembiraan, dan kasih sayang sebagai sesama mahluk yang dikaruniai-Nya hidup di atas bumi. Seperti kata Rudolf Shenker dkk, “'cause we all live under the same sun, we all walk under the same moon”.


***terimakasih untuk kawan2 HMPA Yudhistira yang sudi mengantarkan Rasikun sekeluarga, Topan, Akbar, Hamzah, Ricky (thanks Blazer-nya bro!!!), Siska, Kiki, Buyung, Sony, Ii, Deny, Dicky, Tika, Indah. Saya suka telah membuat kalian semua salah kostum, hahahaaa….*** Read More..

09 April 2010

Merokok, Tabu-kah???

Sejak sekitar 1000 tahun sebelum masehi, warga asli benua Amerika (Indian, Maya, Aztec) sudah menghisap tembakau pipa atau bahkan mengunyahnya, sampai saat kedatangan rombongan penjelajah Columbus ratusan tahun kemudian yang membawa tembakau ke ‘peradaban’ Eropa. Perdagangan tembakau sendiri sudah dimulai sejak tahun 1600-an, dan tetap menjadi komoditas perdagangan yang menggiurkan hingga detik ini.

Hingga ratusan tahun kemudian setalah muhibah Columbus ke benua yang baru ditemuinya, rokok telah menjadi komoditas bisnis dan konsumsi yang sangat menggiurkan bagi para pelaku bisnisnya dan sangat dicari bagi para penikmatnya. DI Indonesia sendiri, meski ada beberapa cerita yang mengatakan bahwa rokok telah ada sejak jaman Majapahit, namun sejarah rokok (terutama kretek)di negeri ini tidak bisa dilepaskan dari sebuah kota kecil di timur Jawa Tengah yaitu Kudus, dan sampai detik ini bahkan kota tersebut terkenal dengan sebutan Kota Kretek.

***

Sehari-hari sudah sangat lazim kita temui teman, tetangga, teman kantor, teman se-angkot, atau siapapun menghisap lintingan tembakau di sekitar kita. Tiada mengenal usia, gender, apalagi SARA, rokok telah menjadi semacam kebutuhan bagi ‘pecandu’-nya. Rokok yang dihisap oleh para pelajar, umumnya usia SMP atau SMA , juga bukan lagi hal yang tabu, juga oleh para wanita, bahkan rokok kini menjadi semacam gaya hidup bagi bagi muda-mudi dalam bergaul.



Lalu apakah rokok itu menguntungkan atau merugikan??pertanyaan seperti ini akan menjadi sangat komplek apabila dipandang dari berbagai sudut pandang, produsen dari hulu sampai hilir, distributor, konsumen, Pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan pemungut “upeti”. Tidak dapat dipungkiri kalau industri rokok melibatkan berbagai sektor, mulai dari petani, industri kertas, sampai kenyataan bahwa industri rokok menyerap tenaga kerja yang masif. Hal ini ditambah lagi apabila dilihat dari proses distribusi rokok sendiri, contohnya rokok merek GG yang diproduksi di Kediri menjadi barang yang sangat dicari di Aceh Jaya –pengalaman penulis mencari barang tersebut di Calang, Aceh Jaya-.

Rokok juga memiliki kedudukan “mulia” dalam APBN sebagai penyumbang penerimaan cukai terbesar. Pada tahun 2010 ini saja, proyeksi penerimaan cukai rokok dan tembakau diperkirakan mencapai 55,3 triliun rupiah, bandingkan dengan proyeksi penerimaan cukai selain rokok dan tembakau yang “hanya” 3 triliun rupiah. Hal ini tentunya menempatkan rokok sebagai komponen penyumbang penerimaan negara yang cukup strategis. Belum lagi banyaknya sektor lain yang mendapatkan keuntungan dari adanya industri rokok dan tembakau.

Kemudian dengan sedemikian besarnya keuntungan dari rokok tersebut, bagaimana dengan efek negatif yang ditimbulkannya?

Berbagai sumber mengatakan bahwa, rokok mengandung kurang lebih 4000 elemen, dan setidaknya 200 diantaranya dinyatakan berbahaya bagi kesehatan. Racun yang dominan pada rokok adalah tar, nikotin, dan karbon monoksida. Tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru. Nikotin adalah zat adiktif yang mempengaruhi syaraf dan peredaran darah. Zat ini bersifat karsinogen, dan mampu memicu Kanker Paru yang mematikan. Sedangkan karbon monoksida adalah zat yang mengikat hemoglobin dalam darah, membuat darah tidak mampu mengikat oksigen. Efek racun pada rokok ini membuat pengisap asap rokok memiliki risiko kesehatan yang lebih besar dibanding yang tidak mengisap asap rokok.



Kenyataan klinis di atas masih ditambah dengan beberapa hal yang melibatkan keyakinan tertentu. Ada ormas agama tertentu yang menyatakan bahwa merokok adalah haram, bahkan berita beberapa hari ini dihebohkan oleh pernyataan yang menyatakan bahwa dalam busa filter rokok terdapat hemoglobin babi!!soal kebenarannya, wallaahu a’lam bishshawab

Beberapa hal di atas nyatanya belum mampu membuat sebagian dari kita berhenti merokok, termasuk penulis sendiri yang sampai beberapa waktu lalu masih menghisap racun nikmat tersebut. Dan Alhamdulillah, dimulai akhir 2009, penulis bisa menghentikan kebiasaan itu, dan semoga tetap tidak tertarik, hohohoooo…

Pengalaman penulis, berhenti merokok bukan hal yang susah-susah amat, “asal ada niat dari pelakunya”, aha…terlepas dari factor bahwa saya bukan pecandu, hanya penikmat. Namun beberapa kawan –yang sudah mencapai level ahli hisap- menuturkan bahwa kebutuhan akan rokok sudah mutlak, bahkan ada ujar-ujar lebih baik ga makan daripada tida’ merokok, alamakkkk…. Sampai-sampai penulis pernah bertemu sseorang yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagai Muslim berpuasa di bulan Ramadhan dengan alasan “kalau ga makan minum saya kuat, tapi kalau merokok itu yang ga nahan”.

Sungguh rokok telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia, setidaknya di negeri tercinta ini….

PS: tulisan ini pendapat pribadi, bukan tulisan ilmiah, data2 dan gambar didalamnya didapat dari berbagai sumber , tidak saya lampirkan sumbernya dan disusun secara serabutan terserah saya, tanpa kaidah akademis apalagi metode penulisan normatif ‘mistis’ sekalipun. Maturnuwun….

“Peringatan Pemerintah: Merokok Dapat Menyebabkan Kanker, Serangan Jantung, Impotensi, Dan Gangguan Kehamilan Dan Janin” Read More..

30 March 2010

(because) Happiness Only Real When Shared

“Happiness only real when shared…”, kalimat terakhir yang mampu dituliskan Christoper John McCandless a.k.a Alexander Supertramp sebelum kematian mengakhiri perjalanan eksotisnya pada sebuah bus tua di Alaska. banyak pertanyaan yang muncul kenapa tulisan itu yang ditulis McCandless sebelum kematiannya, kalimat itu sendiri (kalau saya tak keliru) terinspirasi dari tulisan Leo Tolstoy dalam "Family Happiness" -Tolstoy, penulis yang sangat menginspirasi McCandless dalam perjalanannya-. Saya sendiri mengartikan tulisan terakhir McCandless diatas sebagai sebuah kegelisahan, atau lebih jauh bisa menjadi jawaban atas apa yang dicari McCandless selama pengembaraannya.

McCandless yang mencoba memaknai hidup dengan perjalanan pengembaraannya, sampai namapun dia menggunakan Supertramp, 'Pengembara Super', meninggalkan kemapanan hidup yang ditawarkan keluarganya yang tipikal keluarga kelas menengah di Amerika (hasilku membaca Into The Wild-nya Jon Krakauer dan menonton visualisasinya oleh Sean Penn dalam film dengan judul yang sama)sampai akhirnya hidupnya pun berakhir di sebuah bus bekas Fairbanks City bernomo 142 pada sebuah hutan di Stampede Trail, Alaska.

Selama tinggal di bus bekas tersebut, McCandless menemukan kebebasannya menyatu dengan alam, bebas berburu, mengumpulkan makanan dari alam. Namun, manusia tetaplah manusia yang memerlukan kehidupannya dengan manusia lain untuk berbagi, dan McCandless pun menyadari itu. setelah sekian lama McCandless tinggal di bus bekas tersebut, pada akhirnya dia merasa bosan dan berusaha meninggalkan tempat tersebut, entah untuk pindah ke 'kesendirian' lai atau kembali ke peradaban. namun, alam jugalah yang menahannya karena gletser yang mencair membuat McCandless tak bisa menyeberangi sungai yang berarus deras, sampai akhirnya diputuskannya kembali ke bus sambil menunggu sungai membeku.

berupaya survive dengan bekal seadanya dilakukan McCandless, kehabisan beras, berburu binatang, mengawetkannya, meramu kentang liar, dengan pengetahuan yang juga seadanya dari sebuah buku tentang tumbuhan liar, sungguh upaya survival yang sangat seadanya di tengah cuaca dingin alaska. sampai akhirnya kentang liar itu juga yang merenggut McCandless dengan racunnya. sampai pada akhirnya McCandless menulis kata-kata "happiness only real when shared".

apakah itu artinya McCandless sadar bahwa kebahagiaan yang ditemukan dalam kesendiriannya adalah semu??tak ada yang tahu selain McCandless sendiri.

beberapa tahun lalu, saya membaca Into The Wild (Jon Krakauer), lalu menonton film dengan judul sama dari Sean Penn. pelajaran hidup yang sederhana namun sangat mengena bagiku, sekali lagi satu hal yang sangat dalam kuingat "happiness only real when shared".

rangkaian kata itu sangat kupercayai dalam perjalanan hidupku yang datar, saat aku tahu bahwa kebahagiaan yang kutemui, akan menjadi tanpa makna tanpa berbagi. sampai saat ini, saat kuputuskan meminang seseorang untuk menjadi pendamping di sisa hidupku, sangat kusadari bahwa aku memimpikan berbagi setiap kebahagiaan yang kutemui dengannya.



sampai saat ini, menjelang saat bersejarah dalam hidupku, aku makin yakin, betapa aku sangat mendambakannya merasakan kebahagiaan yang sama, kebahagiaan yang akan terasa nyata jika kami bagi. kebahagiaanku karena aku bisa menemukan seseorang yang sangat kusayangi, kucintai, dan aku ingin melakukannya secara sederhana, namun sepenuh jiwa. Read More..

18 February 2010

Hujan

beberapa tahun belakangan, atau tepatnya sejak saya hinggap* di kota ini, satu hal yang dapat saya simpulkan adalah "the unpredictable weather”. Hujan, panas, kering, gerah, gerimis, lembab, pergantiannya sangat tidak mudah untuk dikira. Langit yang sedang cerah (meski bukan biru warnanya) tak menjamin sesaat kemudian akan tetap cerah, air bisa setiap saat dengan tanpa permisi tercurah dari langit, begitupun sebaliknya.

Beberapa minggu terakhir, awal 2010, hujan dan panas datang silih berganti. Tak mengenal malam, pagi, siang, sore, sama saja…tetap “unpredictable”, bahkan kadang saat kaki memulai melangkah di pagi hari, hujan tiba2 setia menghampiri.

Satu setel jas hujan, menjadi barang bawaan wajib bagi saya yang mengandalkan bersepeda motor dalam beraktivitas sehari-hari. Air asam dan debu yang menempel di badan sudah menjadi “lotion” yang melumuriku sehari-hari. Jalan yang macet pun akan semakin menjadi menjelang, saat dan selepas hujan menyiram. Manusia2 penghuni kota ini akan berlomba untuk segera sampai ke tujuan, setidaknya tidak terguyur hujan. Dan aku…akan menikmati hujan itu dengan senang hati.

Mencaci hujan….di kantor, di jalan, di kos, kadang seringkali kudengar itu dari orang2 di sekitar. Sederhana dan sah-sah saja siapapun itu. Bagi sebagian orang, hujan adalah penghambat aktivitas, sekurangnya memperlambat, hujan akan dengan senang hati membuat baju yang rapi kusut kuyup, kendaraan yang mengkilap buram kelam, dan ketidaksenangan lain bagi sebagian orang.

"Hujan juga bisa marah", dia bisa datang dengan label bencana, banjir yang sudah menjadi hal lumrah di kota ini. Tapi hujan bukanlah yang patut dipersalahkan, dia datangnya rutin, dulu dan sekarang. Dan sekarang ibukota menjadi teramat akrab dengan banjir, tak terkecuali komplek tempatku tinggal yang hanya berjarak kurang dari satu kilometer dari istana negara. Siapakah yang patut dipersalahkan dengan datangnya banjir???sudah sepantasnya kita bermawas diri….

Hujan bagiku tetap menjadi berkah
Aku mencintai hujan, dulu dan sekarang. Waktu bermain saat kecil dulu akan semakin indah dengan hujan.

Begitu pula sekarang, dengan asam yang menyertai, dengan lumpur , diantara deru kendaraan sekalipun, hujan tetap turun membawa lagu-lagu “melankolia”……….-menaburi bumi dengan mimpi-
Read More..

15 February 2010

08 February 2010

Tengah Malam

malam tadi, pagi tadi tepatnya
entah apa yang terpikir olehku, reflek tanganku meraih pena dan secaarik kertas.
padanya tertulis beberapa baris kata...

"Melukis Mimpi

Jarum jam yang berputar tetap berdetak, waktu berjalan,
tetap dia tak sanggup manahan hasratku menahan terjaga

Seporsi besar mie instan ludes, menambah merangsangku tetap membuka mata
Angan yang berkelana, samar pada masa yang telah lewat

Satu jam berlalu...

Perlahan tanganku beranjak,
dilemparnya sebuah novel yang sangat menarik, lantai keramik itu tetap hampa
ditariknya selembar kasur kumal, dari sandarannya pada muka tembok yang tak kalah kusam, ingatanku menari

Putaran kipas elektronik konstan, menghembus udara hampa, pikiranku melayang
Setumpuk buku tak terbaca, menantangku menjamah, jiwaku acuh

lalu...mimpi menjemputku".

entah apa ini namanya, sekedar meluapkan hasrat menabik kertas. Read More..

11 January 2010

Pulau Tangkil (eksotisme pantai barat Lampung)

Pulau Tangkil, pulau kecil di Teluk Lampung yang menyimpan eksotisme pantai. Pulau wisata paling ramai dan paling mudah dijangkau dari Tanjung Karang, hanya 15 menit berperahu dari Pantai Mutun.

Read More..

Search Box