18 February 2010

Hujan

beberapa tahun belakangan, atau tepatnya sejak saya hinggap* di kota ini, satu hal yang dapat saya simpulkan adalah "the unpredictable weather”. Hujan, panas, kering, gerah, gerimis, lembab, pergantiannya sangat tidak mudah untuk dikira. Langit yang sedang cerah (meski bukan biru warnanya) tak menjamin sesaat kemudian akan tetap cerah, air bisa setiap saat dengan tanpa permisi tercurah dari langit, begitupun sebaliknya.

Beberapa minggu terakhir, awal 2010, hujan dan panas datang silih berganti. Tak mengenal malam, pagi, siang, sore, sama saja…tetap “unpredictable”, bahkan kadang saat kaki memulai melangkah di pagi hari, hujan tiba2 setia menghampiri.

Satu setel jas hujan, menjadi barang bawaan wajib bagi saya yang mengandalkan bersepeda motor dalam beraktivitas sehari-hari. Air asam dan debu yang menempel di badan sudah menjadi “lotion” yang melumuriku sehari-hari. Jalan yang macet pun akan semakin menjadi menjelang, saat dan selepas hujan menyiram. Manusia2 penghuni kota ini akan berlomba untuk segera sampai ke tujuan, setidaknya tidak terguyur hujan. Dan aku…akan menikmati hujan itu dengan senang hati.

Mencaci hujan….di kantor, di jalan, di kos, kadang seringkali kudengar itu dari orang2 di sekitar. Sederhana dan sah-sah saja siapapun itu. Bagi sebagian orang, hujan adalah penghambat aktivitas, sekurangnya memperlambat, hujan akan dengan senang hati membuat baju yang rapi kusut kuyup, kendaraan yang mengkilap buram kelam, dan ketidaksenangan lain bagi sebagian orang.

"Hujan juga bisa marah", dia bisa datang dengan label bencana, banjir yang sudah menjadi hal lumrah di kota ini. Tapi hujan bukanlah yang patut dipersalahkan, dia datangnya rutin, dulu dan sekarang. Dan sekarang ibukota menjadi teramat akrab dengan banjir, tak terkecuali komplek tempatku tinggal yang hanya berjarak kurang dari satu kilometer dari istana negara. Siapakah yang patut dipersalahkan dengan datangnya banjir???sudah sepantasnya kita bermawas diri….

Hujan bagiku tetap menjadi berkah
Aku mencintai hujan, dulu dan sekarang. Waktu bermain saat kecil dulu akan semakin indah dengan hujan.

Begitu pula sekarang, dengan asam yang menyertai, dengan lumpur , diantara deru kendaraan sekalipun, hujan tetap turun membawa lagu-lagu “melankolia”……….-menaburi bumi dengan mimpi-
Read More..

15 February 2010

08 February 2010

Tengah Malam

malam tadi, pagi tadi tepatnya
entah apa yang terpikir olehku, reflek tanganku meraih pena dan secaarik kertas.
padanya tertulis beberapa baris kata...

"Melukis Mimpi

Jarum jam yang berputar tetap berdetak, waktu berjalan,
tetap dia tak sanggup manahan hasratku menahan terjaga

Seporsi besar mie instan ludes, menambah merangsangku tetap membuka mata
Angan yang berkelana, samar pada masa yang telah lewat

Satu jam berlalu...

Perlahan tanganku beranjak,
dilemparnya sebuah novel yang sangat menarik, lantai keramik itu tetap hampa
ditariknya selembar kasur kumal, dari sandarannya pada muka tembok yang tak kalah kusam, ingatanku menari

Putaran kipas elektronik konstan, menghembus udara hampa, pikiranku melayang
Setumpuk buku tak terbaca, menantangku menjamah, jiwaku acuh

lalu...mimpi menjemputku".

entah apa ini namanya, sekedar meluapkan hasrat menabik kertas. Read More..

Search Box