27 July 2010

Mbah Kakung, Kesahajaan dan Petuah Bijak



Mbah Kakung kami yang luar biasa, terkesan berlebihan? namun setidaknya begitu bagi kami, anak, cucu dan cicitnya. Dengan 8 anak, Mbah Kakung (demikian panggilan kebesaran beliau) masih tetap segar di usia yang sejenak lagi akan menuju satu abad. Lahir pada awal abad 20, tepatnya 1912, yang berarti usia sekarang pada angka 98tahun, usia yang luar biasa untuk ukuran manusia sekarang, Mbah Kakung masih setia mengawal perkembangan anak, cucu dan cicitnya menjalani keseharian.


Di usia yang menjelang seabad ini, dengan fisik yang sebenernya renta, Beliau tak lelah berjalan kaki menyambangi anak cucu yang tinggal tak jauh dari rumah Budhe, anak tertua yang ditinggalinya. Dikala matari baru sepenggalah melangkah, Mbah Kakung sudah duduk di teras rumahku, dengan sekotak tembakau “mbali”-nya, kertas rokok yang dengan pasrah “dilinting” jemari simbah yang telah berkerut, dan geretan berbahan bakar bensin. Dengan teh tubruk yang hanya orang tertentu yang buatannya disukai embah, dan biskuit “roma kelapa” favoritnya. Kadang tak lupa Beliau menenteng kotak radio transistor kesayangannya, yang didengarkan bukan lagu-lagu melankolis atau sandiwara radio, melainkan berita politik yang telah menjadi menu wajib.

Teringat waktu masih kuliah hukum dulu, seringkali Mbah Kakung menanyakan istilah-istilah hukum yang didengarnya dari berita radio, semisal “Li, bedane kasasi karo banding kuwe apa?”. Sampai sekarang, saat aku pulang ke rumah, hal-hal yang ditanyainya masih seputar kasus aktual, “kae Urip kok bisa kaya kae, aja melu-melu ya!” (saat kasus Jaksa Urip), “Gayus kepriwe siki kae, kok bisa-bisane korupsi?”, sampe yang membuatku tergelitik “Iqbal wonge kepriwe nang kantor, deneng kecekel KPK?”, Mbah Kakung menanyakan tentang kasus Mohammad Iqbal, seorang komisioner pada sebuah kantor komisi, lembaga non-departemen tempatku pernah bekerja, nah lo???sampe saat Beliau menyemangatiku, “Kowe kapan arep ndaftar dadi hakim MK kaya Mahfudz??”, hahaaaaa, Mbah, pangestune putu nggih Mbah….(harapan tulus dari seorang kakek ke cucunya yang bodoh, sing penting aminnn).

“priatin, loman, jujur”

Wejangan yang selalu tak pernah lupa Mbah Kakung sampaikan saat ku pulang. “Priatin” (prihatin), beliau selalu menyarankan untuk prihatin menghadapi segala persoalan hidup, berpasrah diri dan berusaha kata Mbah Kakung. Beliau selalu punya benchmark untuk wejangan ini, Mbah Buyut (bapak dari Mbah Kakung), yang selalu berpuasa sepanjang tahun -kecuali hari yang ga bole puasa tentunya-, dari mutih sampe ngrowod (puasa dan ga makan nasi), prihatin dengan kehidupan, dan mampu menjalaninya dengan indah.

“Loman”, atau “lomo”, Beliau artikan sebagai dermawan, ringan tangan memberi bantuan. Karena apa yang kita berikan, sesedikit apapun dengan keikhlasan kepada yang membutuhkan, tak akan pernah hilang begitu saja, sebaliknya akan berlipat ganjaran yang kita terima, jangan pernah menjadi pelit, demikian Mbah Kakung berujar. Aku membayangkan, dengan kondisi ekonomi keluarga besar kami yang biasa-biasa saja, Mbah Kakung bisa berprinsip seperti itu, aku yakin hatinya sangat kaya. Dan terbayang pula, kalau semua orang berpunya di negeri ini memiliki prinsip “loman”, barangkali tak ada orang miskin di negeri lohjinawi ini *nyawang ngawang*.

Seolah mengambil hikmah dari fenomena korupsi di negeri ini, Mbah Kakung selalu membekaliku pegangan setiap aku pamit berangkat ke Jakarta, kejujuran. “Jujur”, kata beliau, adalah kunci kemaslahatan dalam menjalani hidup. Jangan pernah mengambil yang bukan hak kita, dalam pekerjaan maupun dimanapun. Jangan pernah tergoda yang namanya korupsi, apapun bentuknya. “nek nang kantor, sing jujur, kerja ra sah ngarep sing macem-macem, pokoke kerja sing bener”.

Mbah Kakung, saat sore dan menjelang malam, di atas peraduannya, di atas sajadah tua, dengan berteman tasbih, tak pernah berhenti berdzikir di sisa harinya. Semoga keselamatan, kesehatan dan berkah Gusti Alloh selalu tercurah untukmu Mbah.
Read More..

21 July 2010

Pancimas, Dilema Jalur Wisata (plus info angkutan umum)



Teringat olehku awal tahun 1990-an, sebuah jembatan dengan panjang sekitar 90m dibangun melintas diatas sungai Citanduy, sungai yang memisahkan Kabupaten Cilacap di Jawa tengah dan Ciamis di Jawa Barat. Satu terobosan yang kelak akan mengubah geliat perekonomian masyarakat di Cilacap bagian barat. Pancimas, demikian jembatan itu dinamai, serupa dengan nama jalur jalan yang menghubungkan daerah wisata Pangandaran, menuju wilayah Cilacap dan Banyumas, jadilah istilah pancimas, Pangandaran-Cilacap-Banyumas.

Bukan kebetulan kalau saya dilahirkan di daerah yang dilewati jalur Pancimas tersebut, karena memang tidak ada kebetulan di dunia ini. Seingat saya, jalan di jalur itu sedari awal tahun 90-an sampai sekarang, sudah puluhan kali mengalami perbaikan, karena memang jalan yang rusak telah menjadi hiasan yang identik dengan jalur Pancimas. Dengan intensitas lalu lintas yang ramai dan potensial, dari berbagai sudut kehidupan masyarakat, menjadi hal yang aneh ketika jalan di jalur ini tak juga layak lewat. Harapan datang ketika proyek JSS (Jalur Selatan-Selatan), proyek pembangunan jalan yang konon akan menghubungkan Pemeungpeuk dai Garut, Jawa Barat, sampai daerah Parangtritis di Jogja sana, melewati pesisir selatan Jawa, padanan Pantura barangkali. Tapi entah kapan ini terealisasi….???

Pancimas, sebagaimana namanya, memang menghubungkan daerah wisata Pangandaran, tujuan wisata utama di daerah pesisir selatan Jawa Barat, siapa yang tak mengenalnya. Pantainya, dengan pilihan pantai buat berenang, pendaratan kapal nelayan, berjemur di pasir putihnya yang eksotik, cagar alamnya yang menyimpan kekayaan hayati yang tak ternilai, sampai sepenggal sejarah perjalanan negeri melalui peninggalan masa2 kolonial. Bagi wisatawan yang berasal dari arah Bandung dan Jakarta, tidak akan kesulitan dengan masalah transportasi, serta jalan yang mulus, bahkan dengan adanya rute penerbangan baru yang dibuka oleh maskapai Susi Air, maskapai yang dimiliki oleh saudagar asal kota wisata ini, Susi Pujiastuti.

Namun, tentunya yang tertarik dengan Pangandaran ini bukan hanya orang Bandung atau Jakarta, tak kurang pengunjung yang berangkat dari arah timur Pangandaran, Cilacap, Purwokerto, sampai Jogjakarta. Disini masalahnya, jalur Pancimas yang menyediakan jalur jalan dari arah timur menuju Pangandaran tak sebagus jalan ke arah barat. Jalanan penuh lobang, angkutan umum yang tak ada lagi selewat pukul 18.00, huffff….nampaknya mereka mesti bersabar menungg proyek JSS terwujud.

Namun bagaimanapun, kendala sarana dan prasarana transportasi tak bisa menyurutkan peminat wisata Pangandaran, alternatif wisata semua kalangan, terjangkau mulai kalangan kuli, buruh, artis, eks TKI/TKW, sampai bule-bule pemburu kehangatan pantai, ghrrrrrzzzz.... Dan memang pengaruh wisata Pangandaran telah begitu besar bagi perekonomian masyarakat di sepanjang jalur Pancimas, Kabupaten Ciamis di Jawa Barat dan Cilacap di Jawa Tengah utamanya.

Harapannya, hegemoni proyek Pancimas yang sekarang tergantikan dengan gaung proyek JSS bisa menjadi harapan bagi perekonomian masyarakat di sepanjang jalur itu, tidak lagi menggeliat tapi bangun, nah….. Tidak ada lagi jalan “angkluk-angklukan” macam sungai kering, dan banjir di daerah aliran sungai-sungai di sekitarnya.

Alternatif transport menuju Pangandaran lewat jalur Pancimas:
1. Dari Purwokerto
Dari kota Kripik Purwokerto bisa langsung menggunakan bis tanggung 2 pintu trayek Purwokerto-Pangandaran, ada 2 bis yang beroperasi, Budiman dan Limex, mulai pukul 03.00 dinihari sampai siang hari. Alternatif lain dari Purwokerto bisa naik bis tanggung juga menuju Sidareja (kota kecamatan di Cilacap), lanjut naik bis sejenis jurusan Sidareja-Pangandaran, alternatif ini lebih banyak pilihannya.

2. Dari Jogjaaaaaa
- Bis
Bis besar (Efisiensi, Raharja, dsb) menuju Cilacap, dari Cilacap bisa terus naik bis tanggung 2 pintu rute Cilacap-Sidareja-Pangandaran.
Bis besar lewat Purwokerto, bisa lanjut sesuai alternatif ke-1.
- Kombinasi kereta api dan bis
Kereta api, angkutan masal ini, dapat ditempuh dengan rute Jogja-Sidareja, dari Stasiun Lempuyangan, banyak kereta ekonomi jurusan Bandung yang berhenti di Stasiun SIdareja. Dari Stasiun Tugu, hanya ada satu kereta Bisnis jusrusan Bandung yang berhenti di Stasiun Sidareja, Kereta Lodaya, pagi dan malam.
Dari Stasiun Sidareja, bisa langsung naik bis jurusan Cilacap-Pangandaran atau Purwokerto-Pangandaran dari depan stasiun,atau kalau mau pasti dapet, bisa naik delman dengan waktu tempuh sekitar 1o menit menuju Terminal Sidareja, lanjut deh ke Pangandaran…..
- Travel
Setahu saya memang ada travel Pangandaran-Jogja, karena kebetulan lewat jalan di ndusun saya. cuma informasi yang saya punya sangat terbatas. tapi nampaknya info tentang ini tak akan kurang dari Mbah Gugel.

Sayang info tarifnya saya tak bisa menulis disini, takut tidak akurat, dan nampaknya memang begitu, setelah kenaikan BBM yang terus terusan....hohohooo...

Catatan:
Dua alternatif ini tantangannya sama, siap2 naik bis berasa naik kuda….gludak gludak….ketuplak!!!!
Read More..

20 July 2010

Jakarta, Pagi Hingga Malam





Pagi tadi, dalam perjalanan menuju tempat nguli, saya dan istri yang berboncengan sepeda "montor" menjadi saksi betapa kehidupan di ibukota ini telah begitu berwarna. Seorang pengendara sepeda motor berjaket pola 'kulit macan', bercelana training, bersepatu olahraga bertuliskan nama sebuah instansi, melaju di lajur yang salah, tepat berhenti di samping motor kami, pada sebuah pertigaan di bilangan Kramat Raya. Sebelum berhenti, sang pengendara yang seharusnya melaju di lajur kanan mengambil lajur kiri yang mestinya menjadi jalur pengguna jalan lain, karena dia hendak berbelok kekanan (setidaknya itu yang kulihat).

Seorang polisi yang berada di tengah lintasan menegurnya, tidak halus2 amat memang, tapi itu memang menjadi wajar ketika niat mulianya mengarahkan pengguna jalan tak dihiraukan *emang ga pernah enak kalau dicuekin*
"saya mau ke kanan", sang pengendara menjawab "saya dari **********", lanjutnya seraya mengatakan sesuatu profesi, jabatan atau apalah namanya yang memang tergambar dari pakaiannya.

Si Polisi tak habis akal "sampeyan berada di jalur yang salah, sudah saya arahkan", si Polisi menerangkan.
"tapi saya.....bla...bla...bla...", si Pengendara menjawab dengan nada makin tinggi.
"sampeyan kalau mengaku ******** dan ga mau diatur, setidaknya kasih contoh masyarakat" si Polisi tak mau kalah.
Sampai saat lampu "bang-jo" menyala hijau, tak juga ada senyum menghiasi keduanya, si Polisi dengan muka kesal mengalah (masih banyak yang masih mau diatur, barangkali begitu pikirnya), mengambil posisi menjauh dari si Pengendara. Sebaliknya si Pengendara, dengan gagahnya memacu motor kecilnya meninggalkan pertigaan (ahhhh, saya menang....bisa jadi begitu di benaknya).

Peristiwa yang terjadi tak lebih dari 3 menit pagi tadi bukan hal yang aneh di kota ini. Kesemrawutan di jalan, penghuninya yang musti berpacu dengan waktu, saling menarik urat marah denan pengendara lain, asap yang menghitam, bukan hal yang aneh dan menjadi bumbu dari yang namanya hidangan prasmanan ibukota.

Kesabaran menjadi hal yang mutlak dibutuhkan kalau kita tidak ingin berlelah-lelah terjebak dalam rutinitas yang penuh tekanan. Persoalan hidup di ibukota tidak akan berhenti bahkan ketika kita terlelap sekalipun, tak ada yang pernah yakin bahwa udara yang kita bawa ke dalam mimpi itu bersih, rumah yang kita tinggali aman dari banjir atau bahkan baru2 ini yang lagi ngetren, ancaman "bom 3 kg", wuffff....indahnya. Sampai pada persoalan yang timbul dari rutinitas yang bisa menjadi sangat menjemukan, ya..., pekerjaan.

Sesaat mendengar kata "pekerjaan", saya teringat sebuah kalimat yang terukir pada selembar post-it kuning di depan meja kerjaku "Bila pekerjaan adalah kesenangan, hidup adalah kenikmatan. Bila pekerjaan adalah tugas, maka hidup adalah perbudakan", begitu setidaknya petuah dari seorang Maxim Gorkhy. Kata2 yang barangkali masih menjadi pajangan di tembok2 mimpi saja. Makian, keluhan, umpatan, bukankah itu manusiawi dalam keseharian??yang bisa jadi disebabkan tekanan pekerjaan rutin, dan sebab lain yang telah begitu komplek mempengaruhi keseharian manusia di kota ini.

Kembali tentang kesabaran, hal yang menjadi "modal dasar" kalau tidak mau dikatakan wajib dimiliki setiap orang yang menggantungkan nasib pada kehidupan kota ini. Hari, yang di kota ini akan menjadi lebih panjang daripada di kota2 lain di negeri ini, bukanlah suatu keadaan diam yang akan membungkus kita dalam rutinitas belaka, tapi dinamikanya telah menjadi luar biasa untuk dinikmati, bagi yang memiliki "modal dasar" tadi tentunya. Jam kerja, yang lazimnya diawali antara pukul 7-8 setiap harinya, diakhiri sekitar pukul 17, dan akan berlanjut bagi yang memang harus berlanjut, kadang sampai berganti hari, akan menjadi neraka bagi yang tidak mampu menikmatinya.

Dan, sampai saatnya penat itu harus dilepas, berganti dengan baju mimpi, bisa jadi cuma ada sekerumus harapan yang menjadi selimutnya. Harapan bahwa besok kita masih bisa bernafas, hidup, menghadapi masalahnya, karena bumi kita masih "bumi manusia, dengan segala persoalannya, bukan sekedar pangkat dan jabatan".

*masih bermimpi kelak pulang kampung, mbangun ndesa, ahahaaa....*
Read More..

12 July 2010

orchid and lotus





Suatu waktu, sengaja beberapa teman mengajakku jalan2, sekedar menghirup udara segar dari Buitenzorg. Tujuan utama tentu Kebun Raya Bogor, tempat yang tepat buat ngadheeeemmmmm....dan akhirnya kesampaian juga mengunjungi kebun anggrek, pusat penangkaran anggrek yang ada di KRB ini. Hanya beberapa kuntum yang terekam, namun kecantikannya sanggup menceritakan sejuta kisah keindahan....

putih, bersih, berhias sedikit ungu, setangkai anggrek ini melayang-layang melempar senyum yang tak pernah habis.


Sekali lagi, putih dan ungu....

Warna-warninya...


so soft....



berbaris tiga-tiga...



the whites...



the whites...

lotus in front over the palace....


the boy statue

lonely lotus

jalan-jalan yang sejenak, sekedar memberikan hirupan segar bagi paru-paru....ghrrsrsrsrrrrrr
Read More..

08 July 2010

Because It’s There





“Because It’s There”, rangkaian kata yang menjadi sangat popular bagi para pendaki gunung (penjelajah pada umumnya), “karena dia disana”, jawaban yang sederhana lugas dan mencerminkan sebuah keadaan yang tidak bisa digambarkan dengan kata2 lagi ketika muncul pertanyaan “kenapa anda naik gunung?”. “Because it’s there” adalah 3 kata yang diungkapkan George Leigh Mallory, saat ditanya oleh New York Times alasan mendaki Mount Everest pada awal 1920-an.

Mountaineering atau lebih dikenal dengan pendakian gunung dalam bahasa sehari-hari, bagi sebagian orang tampak seperti aktivitas yang konyol. Saat sebagian besar orang sedang terlelap berselimut dalam kehangatan di atas tempat tidur pada musim hujan, para pendaki gunung biasanya sedang bergelung diiris udara dingin yang setajam pisau, atau berselimut mantel yang tetap tak mampu menjaga tubuh tetap kering saat hujan turun. Saat sebagian orang sedang menikmati berkumpul dengan keluarga dirumah, sebagian lain pendaki memacu otot dan otak menapaki permukaan bumi yang miring setapak demi setapak menuju puncak. Dan hanya sebagian kecil dari pendaki gunung yang dapat menceritakan alasan mendaki gunung, sebagian besar lainnya bisa dikatakan sepakat dengan Mallory.

Pendakian gunung hanyalah salah satu dari berbagai aktivitas yang biasa disebut “outdoor activities”. Arung jeram, penelusuran gua, panjat tebing, penelusuran pantai, jelajah gunung hutan, diving, snorkeling, sampai sekedar jalan2 wisata yang popular dengan istilah “backpacking”. Berbagai aktivitas tersebut identik dengan kenikmatan bercumbu dengan alam, namun memang pendakian gunung (bagiku) memiliki nilai ‘spiritualitas’ yang berbeda.

Ketenangan yang tercipta di puncak sebuah gunung, menghayalkan damainya mayapada yang diceritakan dalang, dan sejenak bisa menjadi pintu kematian saat lengah. Anginnya yang dingin menusuk tulang, ngilu, namun memberikan ketenteraman yang luar biasa. Sengat matari yang membakar kulit, sejenak akan menjadi sinar kehangatan yang meredakan batin dari kepenatan.

Hanya beberapa gunung yang pernah kudaki, itupun gunung dengan ketinggian di atas 3000mdpl dan tak lebih dari 3500mdpl, tapi saya selalu mencintai hal-hal yang berkaitan dengan gunung, cerita-cerita tentangnya, eksotisme gunung,sampai tragedi-tragedi pada pendakian gunung. Into Thin Air, Three Cups of Tea, sampai kisah mengharubiru tentang Soe Hok Gie dan Norman Edwin.

Hingga sampai saat ini, saat waktu susah berkompromi dengan keinginan, hasrat untuk menikmati eksotisme gunung dengan hutan dan lembah2nya masih menggebu-gebu, entah sampai kapan bisa benar terwujud keinginan itu. Dan tak terbayang pula apakah badan yang telah begitu rapuh digerogoti aktivitas harian ini bisa toleran diajak berlelah barang sejenak. Yang pasti, tak akan luntur kecintaanku pada gagahnya gunung yang menjulang tinggi, tegar menantang badai hidup.

Dan untuk itu, hanya ada satu alasan, “because it’s there”.
Read More..

Search Box