10 April 2011

Tentang Cinta, Harapan dan Perjuangan (Lembar #1)



Moda Transportasi Yang Beragam

Kisah tentang pengalaman mendampingi isteri tercinta, berjuang mempertaruhkan nyawa, mengharu biru, dengan nafas yang sepenggalan, sampai saat buah hati kami keluar dari tempatnya paling nyaman dan menghirup udara bumi. Suatu kisah yang tak pernah akan terlupakan, dan memotivasi diri untuk semakin menghargai wanita dengan segala perjuangannya.

Suatu siang, pada kesempatan pertama saya pulang kampung di tahun 2011, sementara isteri sudah mengambil cuti melahirkan (masuk minggu ke-39 merunut perkiraan dokter), niat saya sungkem Ibu-Bapak, khususnya Ibu yang memang sudah “menikmati” masa tuanya dengan anugrah Illahi berupa penyakit saraf dan gula, cobaan yang dijalaninya dengan ikhlas. Sabtu siang itu, 26 Februari, tepat di hari ulang tahun beliau yang ke-59, bersama Bapak, di sebuah tempat terapi yang rutin dijalani, ketika itu pula saya mendapat kabar isteri yang memang telah mendekati hari perkiraan lahir (HPL), sudah mengalami sedikit pendarahan (flek), dan langsung diantar adik ipar saya ke RS di Banyumas. Cangcut taliwondo (bergegas, Jawa), saya ngacir mencari alternatif transportasi yang tercepat mengantarkan saya ke rumah sakit Banyumas.

Seorang sepupu menawarkan mengantar pake mobil tua Bapak, juga mas Acung yang ujug2 nongol pake motor, namun pilihan jatuh pada kereta ekonomi Mutiara Selatan jurusan Bandung-Surabaya yang melintas kampong saya, sampai ke Kroya,untuk kemudian meneruskan perjalanan sampai Banyumas. Niat saya naik kereta ini, biar bisa istirahat, duduk manis sampai tujuan, nyatanya, kereta memang moda transportasi yang ‘dicintai’ masyarakat kebanyakan. Dengan harga tiket yang unik (untuk jurusan Kroya, yang hanya berjarak 60km, saya harus membeli tiket jurusan Solo, beuhhh…), ternyata kereta kali ini penuh sesak dengan penumpang, tumplek blek jadi satu, eksotik…keringat dari berbagai profesi berbaur dalam kesederhanaan berbagi. Mengambil tempat di bordes, tempat “ternyaman” ketika kabin sudah penuh sesak, perjalanan kuisi dengan berbagi cerita bersama orang2 senasib di depan toilet sempit itu, banyak hal baru yang hanya bisa ditemui dalam situas seperti ini, dan saya menyukai bertemu dengan orang2 baru dengan beragam ceritanya itu, diselingi penjual pecel, minuman ringan, hingga nasi rames yang berlalu lalang tak kenal lelah.


suasana di bordes kereta, penuh sesak (taken from N97)

Lewat tengah hari sampe di Stasiun Kroya, stasiun yang penuh sejarah, karena letaknya yang strategis, disini terdapat persimpangan jalur Jogja-Jakarta lewat Purwokerto-Cirebon dan Surabaya-Bandung, konon dulu terdapat pos pasukan kolonial yang lumayan besar , Belanda dan Jepang setelahnya. Keluar stasiun, clingak-clinguk cari tumpanan yang pas buat sampai tempat ngetem bus jurusan Purwokerto yang lewat Banyumas, liat becak, agak ga tega sama pengayuhnya sebenernya mengingat badan saya yang melar karena kepanasan di kereta (ngelessss), tapi ‘no probolinggo’ lah, wong dianya yang nawarin duluan. 10 menit kemudian sampailah saya di pintu sebuah bus tua berkapasitas sekitar 25 kursi, setengah penuh dengan ibu2 membawa barang belanjaan, tepat di depan pasar Kroya.

bus AKDP yang masih menjadi moda utama (taken from N97)

Dengan ongkos 5ribu perak, sepeminuman the kemudian sampailah saya di Banyumas, sepelemparan batu di depan RSU Banyumas, tempat istriku menunggu proses persalinan.

Sampai disini, pengalaman yang kudapat adalah soal moda transportasi di negeri ini, selain kendaraan pribadi, cukup banyak dan memiliki keunikannya masing-masing. Kereta api (ekonomi khususnya), masih menjadi andalan masyarakat kebanyakan, dengan ongkos murah meriah bisa mencapai tujuan yang jauh, bahkan dengan tanpa membayar (a.k.a penumpang ilegal), ada sebagian oknum yang masih setia melakukan hal tersebut. Becak, tipikal moda transportasi negeri ini, sederhana dan sebagian besar masih menggunakan sumber tenaga kayuhan sang pembecak, namun kenikmatan saat menaikinya luar biasa. Bus AKDP (antar kota dalam provinsi), masih merupakan moda transportasi umum utama yang memang tak tergantikan, bahkan meski kondisinya tak laik jalan sekalipuan.

Aku cinta Indonesia.



Read More..

Search Box