15 September 2011

Penambangan Pasir a la Pesisir Selatan Jawa



Sepintas tak ada yang aneh dengan aktivitas masyarakat pesisir selatan Jawa, tepatnya di daerah Adipala, Nusawungu sampai Binangun di Kabupaten Cilacap, kecuali di berbagai tempat terlihat bukit-bukit pasir artifisial. Seperti yang saya saksikan (Sabtu, 27 Agustus 2011) di sekitar Pantai Selok, Adipala, gugusan bukit pasir dengan tinggi antara 3-10 meter terlihat mulai dari pekarangan warga, ladang, sawah, sampai lahan di dekat pantai. Dari info yang saya dapat, pasir itu bukan sembarang pasir, tapi pasir besi, bahan baku dalam industri besi baja dan industri semen yang tentu dimaklumi kalau nilai ekonominya cukup tinggi.


*Adipala, 2011

Dari berbagai artikel media massa, penambangan pasir besi rakyat ini menuai kontroversi dari berbagai pihak, pihak yang pro tentunya yang menikmati laba tidak sedikit dari nilai jual pasir besi serta terserapnya beberapa gelintir tenaga kerja, termasuk "para jawara" yang menjaga lokasi pertambangan. Namun tak sedikit yang dengan keras menolak adanya penambangan pasir besi di Cilacap ini, pihak yang kontra berpendapat bahwa penambangan pasir besi ini sudah pada tahap merusak ekosistem pantai. Dari apa yang terlihat di pantai sekitar Gunung Selok, penambangan pasir hanya berjarak "sepelemparan batu" dari lidah air laut di pantai, sekitar 100m. Hal ini berpotensi memicu abrasi, ditambah lagi dengan adanya lubang2 sisa penambangan yang otomatis tak bisa lagi ditanami pohon-pohon yang berfungsi mengurangi dampak abrasi. Kondisi yang sangat mengkhawatirkan ini ditambah dengan kenyataan bahwa pantai Cilacap adalah salah satu "zona merah" tsunami, yang notabene akan sangat berbahaya akibatnya ketika ekosistem pantai sendiri telah tidak memiliki daya dukung yang maksimal dalam menangkal kerusakan akibat tsunami.

Dalam lingkup yang lebih luas, penambangan pasir besi juga berefek pada rusaknya infrastruktur jalan di wilayah Cilacap yang dilalui truk-truk pengangkut pasir besi. Rusaknya jalan karena beban berlebih dari truk pengangkut juga terjadi di wilayah CIlacap bagian barat dengan masuknya truk-truk pengangkut pasir besi dari daerah Tasikmalaya. Bahkan masyarakat di pesisir selatan Cilacap tak sedikit yang menolak adanya penambangan pasir besi.
Read More..

13 September 2011

"Dibawah Bendera Revolusi", Barang Langka Oleh-Oleh Lebaran



Ini bermula saat isteri cuti sehabis melahirkan anak kami yangpertama, Kirana, Februari silam. Suatu pagi, isteri yang masih berada di rumah orang tua di Cilacap, mengabarkan kalau ada buku tua yang mau di "bersihkan" dari lemari arsip eyangnya Kirana, dia bilang judulnya "Dibawah Bendera Revolusi”, kalau mau diambil aja pas pulang nanti, ujarnya.

*

Buku ini begitu tabu diobrolkan saat orde baru berkuasa, de-Sukarnoisasiyang ditanamkan pada masyarakat kala itu membuat “parno” orang untuk membahasnya. Saya tahu buku ini saat SMA, kebetulan Mbah Kakung dulu punya sebuah, dah saat ini menjadi kepunyaan Paklik saya. Dulu juga kakak saya yang mahasiswa sejarah sering menceritakan buku ini, yang kemarin katanya pasca reformasi menjadi barang langka yang dicari-cari orang. Buku ini disusun oleh sebuah tim bernama Panitia Penerbitan dibawah pimpinan H. Muallif Nasution pada tahun 1959, dilanjutkan cetakan pada 1963 dan 1964. Selanjutnya pada era reformasi, dengan diprakarsai oleh Yayasan Bung Karno, buku ini diterbitkan kembali pada tahun 2004 dengan berbagai penyesuaian tanpa mengurangi substansi. (sumber informasi)
*kusam bukan karena dibaca, tapi usia (N97)
*Jilidan mulai terlepas (N97)

Saya sendiri belum pernah membaca secara penuh bukunya, hanya sekilas-kilas saja dulu membuka punya Paklik. Saya tahunya buku ini berisi tulisan-tulisan yang menuangkan pikiran-pikiran orisinil dari Bung Karno. Namun ketika berselancar di dunia maya melalui mesin pencari dengan kata kunci sama dengan judul bukunya, saya terheran ketika yang keluar ternyata kebanyakan laman yang memperjualbelikan buku itu, seolah-olah buku itu menjadi komoditas karena “keantikannya”, bukan dari isi buku itu sendiri. Sebagai buah pemikiran orang besar macam Soekarno, apakah buku sekelas ini (yang dilaman jual beli dihargai mencapai 50juta rupiah untuk cetakan edisi lamanya) hanya pantas jadi komoditas barang antik dan jadi pajangan di lemari buku?saya bermimpi akan banyak yang membicarakan isinya di ruang-ruang diskusi, sehingga saya bisa menyimaknya, hahaaa....tentunya saya juga berharap bisa membacanya nanti.

*

Yang pasti, buku ini jadi oleh-oleh yang cukup berharga pasca libur lebaran,bukan cuma karena nilai sejarah dan antiknya, namun saya berharap juga nanti buku itu tak sekedar jadi pajangan di lemari buku.
Read More..

Search Box