04 June 2013

Mimpi #1/13: Jakarta, “Mimpi Surga” Pejalan Kaki



Pada suatu pagi...

Pagi ini, dan seperti pagi-pagi weekdays yang lain, kaki-kaki yang tergesa berkerumus keluar dari rangkaian gerbong di Stasiun Palmerah. Begitu juga, sebut saja Parja, tak kalah tergesa mengayunkan kakinya sigap turun dari footstep rangkaian CommuterLine pagi. Parja musti berhitung waktu tempuhnya sampai tujuan perjalanan pagi itu, kantor. Parja sadar setiap ayunan langkah akan diperhitungkan dengan detik waktu “di mesin presensi” kantornya. Dan untuk menempuh jarak yang cuma sepenggalan itu, sekira 600m saja, lagi-lagi Parja mesti membuat perhitungan matang dengan risiko-risiko pejalan kaki di jalan raya. Penyeberangan jalan yang minim marka, fasilitas pejalan kaki (baca:trotoar) yang ala kadarnya, dan tabiat pengendara kendaraan bermotor yang luar biasa “bersahabat” (dengan maut). Seperti pagi ini yang Parja putusakan untuk menempuh sisi lain jalan yang biasa dia lalui, dia baru sadar kalau trotoar yang tersedia tinggal tersisa separuh dari lebar 5 kaki-nya (untuk itu pedagang di trotoar disebut pedagang kaki lima), karena tertutup pembatas non-permanen dari proyek pembangunan sebuah gedung. Sangat tidak nyaman rasanya Parja harus berbagi trotoar yang sempit itu dengan pejalan kaki lain, dengan pot-pot bunga yang bermaksud memperindah, dan beberapa ruas trotoar yang “tersita” oleh standing banner toko di belakangnya. Ahhh, kasihan Parja…

 #

Stasiun Palmerah merupakan beberapa stasiun yang menjadi pemberhentian terakhir para pekerja komuter. Stasiun ini menghubungkan daerah penyangga Bintaro, Serpong, Pamulang, dan beberapa daerah lain di Tangerang dan Tangerang Selatan dengan pusat kota Jakarta (Senayan, Slipi, Sudirman, Blok M, dan sekitarnya). Selain Palmerah, roker (rombongan kereta) juga menyasar Stasiun Tanah Abang, Stasiun Sudirman, Stasiun Karet, sampai Manggarai, dan ini baru untuk ruas perjalanan kereta dari Maja/Parungpanjang/Serpong menuju Tanah Abang. Tak terbayangkan jalur lain, Bogor/Depok-Jakarta, Bekasi-Jakarta, yang memang lebih padat dari jalur perjalanan kereta Parja.

Parja, dan pasti banyak komuter yang lain, paham dan sangat sadar kalau memang hanya kereta pilihan yang paling logis untuk bertransportasi di Jakarta yang luar biasa… –perlu dijelaskan?tentunya tidak-. Seperti Parja yang cuma butuh berdiri sekitar 20menit di dalam kereta dari stasiun pemberangkatannya di Sudimara, alih-alih menggunakan moda transportasi konvensional semacam bis, mobil pribadi, atau motor, untuk sampai ke kantor. Namun seperti Parja pula, ribuan pengguna kereta tersebut masih harus melanjutkan perjalanan dari stasiun sampai tempat tujuan, banyak diantaranya dengan berjalan kaki.

*

Ingat acara di tivi jaman dulu “Who Dares Win”?, itu barangkali sedikit ungkapan tepat buat keberanian para pejalan kaki di kota-nya Parja ini. Kalau mau jujur, Parja pasti akan bicara, berjalan kaki di kota ini jauh lebih ber-risiko dibanding berjalan di tubir jurang kawah Gunung Slamet misalnya (ahhh, Parja lebayyy), aktivitas kesukaannya dulu. Ato ekstrimnya -secara akumulasi- risiko pejalan kaki adalah “maut”, sama seperti risiko pemanjat Everest meniti Hillary Step (yang ini Parja aseli ngawur). Bagaimana tidak, berjalan kaki di Jakarta adalah berarti juga bergelut dengan fasilitas pedestrian yang seadanya, minimnya tempat penyeberangan, resiko terserempat mobil/motor, dan yang paling banal adalah udara yang dihirup adalah emisi gas buang mobil/motor itu.

Pejalan kaki, siapa sih dia? Katanya “Pejalan Kaki adalah setiap orang yang berjalan di Ruang Lalu Lintas Jalan, prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah kendaraan, orang, dan/atau barang yang berupa Jalan dan fasilitas pendukung”, setidaknya itu kata UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (22/2009), bukan omongan Parja yang ga jelas. Kalau sampai undang-undang merasa perlu mengatur pengertiannya, tentunya ada urgensi lain yang diatur selain sekedar pengertian.

Dalam UU tersebut, jelas diatur bahwa si pejalan kaki punya hak juga atas jalan. UU mewajibkan agar jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum dilengkapi dengan (antara lain) fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki, dan penyandang cacat. Lalu hak pejalan kaki juga dijamin disitu, pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain. Pejalan kaki berhak mendapatkan prioritas pada saat menyeberang jalan di tempat penyeberangan. Nah, kalau fasiltas-fasilitas tersebut belum tersedia, maka pejalan kaki berhak menyeberang di tempat yang dipilih dengan memperhatikan keselamatan dirinya. Namun disamping itu, pejalan kaki wajib menggunakan bagian jalan yang diperuntukkan bagi pejalan kaki atau jalan yang paling tepi, atau menyeberang di tempat yang telah ditentukan. Dalam hal tidak terdapat tempat penyeberangan yang ditentukan, pejalan kaki wajib memperhatikan keselamatan dan kelancaran lalu lintas.

Memang masih jauh panggang dari api, namun semakin banyaknya pilihan orang untuk berjalan kaki, mestinya tidak sekedar beleid belaka yang disediakan Pemerintah, namun aksi nyata ketersediaan fasilitas yang nyaman bagi pejalan kaki masih merupakan mimpi yang indah bagi Parja dan kawan-kawannya.

Parja barangkali hanya satu dari sekian banyak pemimpi itu. Ada pula (sebut saja) BP, yang setia pada hobinya bersepeda dari rumah di Pamulang sampai kantor di bilangan Senayan. Dan akhir-akhir ini yang mencoba dengan menikmati berjalan kaki tidak sekedar menempuh Stasiun Palmerah-Senayan, namun Stasiun Kebayoran-Senayan pun beberapa kali dinikmatinya dengan berjalan kaki, konon lebih dari 4 kilometer ditempuhnya sekali jalan.

#

Memang, kalau dipikir jauh, menjadikan Jakarta kota yang nyaman dalam 5-10 tahun ke depan masih menjadi mimpi belaka, setidaknya untuk pejalan kaki seperti Parja dan BP. Namun, menciptakan kota yang humanis tentu bukan tugas penyelenggara negara belaka, lebih jauh kesadaran dan prtisipasi warganya mutlak diperlukan. Karena, menurut keyakinan orang-orang seperti Parja, kemajuan suatu kota antara lain diukur dari kenyamanan yang disediakan bagi pejalan kaki (dan pesepeda). (Jumat, 31 Mei 2013)
Read More..

16 May 2012

Hak Seorang Ibu Menyusui di Kantornya, Sudahkah?



Ibu Menyusui, Antara Kewajiban Sebagai Ibu dan Karyawati

Pemberian air susu ibu (ASI) ekslusif saat ini merupakan tren positif di masyarakat, tak terkecuali ibu menyusui yang berstatus karyawati sebuah perusahaan. Terbukanya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pemberian ASI eksklusif untuk bayi didasari pemahaman bahwa pemberian makan terbaik untuk bayi memiliki beragam manfaat yang sangat penting diantaranya menurunkan risiko infeksi akut seperti diare, pneumonia, infeksi telinga, influenza, meningitis, infeksi saluran kemih, dan berbagai potensi penyakit lainnya. Memang saat ini pemberian imunisasi juga telah menjadi alternatif dalam pencegahan penyakit, namun pemberian ASI ekslusif tetaplah tidak dapat tergantikan oleh imunisasi. Hal inilah yang menjadi kewajiban seorang ibu untuk memberikan ASI ekslusif kepada bayinya, dan juga lingkungannya yang harus mendukung pemberian ASI ekslusif tersebut.

Pada sisi yang lain, saat ini seorang ibu yang berstatus sebagai pekerja (karyawati) juga merupakan suatu kelaziman. Kondisi ini menimbulkan permasalahan yang kecendurungannya belum dapat diatasi oleh sebagian besar IBU menyusui untuk secara ekslusif memberikan ASI kepada bayi di sela-sela kesibukan bekerja yang sangat menyita waktu. Bagi sebuah kantor, memberikan waktu cuti kepada seorang ibu dari masa persiapan kelahiran sampai masa setelah kelahiran merupakan suatu keharusan, secara umum 3 (tiga) bulan. Namun 3 bulan tersebut tentunya masih kurang karena pemberian ASI ekslusif idealnya adalah 6 bulan untuk pemberian ASI penuh dan sampai 2 tahun untuk pemberian ASI dan makanan pendamping ASI. Kondisi inilah yang mengharuskan seorang ibu menyusui yang bekerja harus pintar menyiasati keterbatasan waktu memberikan ASI secara langsung. Sebagai contoh perhitungan kasar mengenai perbandingan waktu bersama bayi dengan waktu bekerja bagi seorang karyawati yang sedang menyusui adalah 12 jam bersama bayi (yang masih dikurangi waktu istirahat dan aktivitas lain di rumah) dan 12 jam waktu di tempat bekerja (termasuk waktu perjalanan berangkat dan pulang kantor). Komposisi waktu tersebut tentu sangat tidak ideal apabila diukur dari intensitas pemberian ASI ekslusif kepada bayi.

Salah satu solusi untuk tetap memberikan ASI ekslusif kepada bayi adalah dengan memerah ASI di sela-sela waktu bekerja dan membekukannya dalam wadah ASI (botol) untuk diberikan di waktu yang lain kepada bayi (melalui sendok atau dot). Solusi ini tentunya membutuhkan berbagai faktor pendukung untuk dapat dilakukan secara optimal demi tetap dapat memberikan ASI ekslusif kepada bayi, diantaranya fasilitas pojok ASI (ruang laktasi) sebagai tempat memerah ASI, peralatan memerah dan wadah penyimpan ASI yang higienis, serta dukungan dari lingkungan sekitar (suami, keluarga dan teman sekantor).

Fasilitas Bagi Ibu Menyusui

Sebagaimana disampaikan di atas, pemberian ASI ekslusif melalui pembekuan ASI memerlukan berbagai faktor pendukung, diantaranya fasilitas khusus bagi seorang ibu menyusui. Dewasa ini, telah banyak institusi baik negeri maupun swasta yang menyediakan ruang laktasi di gedung kantornya, namun tak sedikit yang masih belum memiliki fasilitas tersebut. Ruang laktasi ini diperlukan untuk memberikan kesempatan secara khusus bagi seorang karyawati yang menyusui untuk memerah ASI. Ruang ini dibutuhkan karena dalam proses memerah ASI dibutuhkan ruang dan kondisi yang nyaman bagi seorang ibu. Fasilitas lain yang juga diperlukan oleh seorang karyawati yang menyusui adalah ketersediaan waktu yang cukup untuk dapat menyusui atau memerah ASI di waktu kerja.

Negara telah mengatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa “Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja”. ketentuan Pasal 83 UU Ketenagakerjaan tersebut dapat diartikan pula tersedianya waktu untuk memerah ASI bagi ibu yang menggunakan cara pembekuan ASI.

Ketiadaan fasilitas ruang laktasi maupun ketersediaan waktu yang cukup akan memberikan dampak signifikan bagi proses pemberian ASI yang dilakukan oleh seorang ibu yang bekerja. Banyak ibu yang menyiasati dengan memanfaatkan ruang-ruang tertentu yang ada di perkantoran seperti ruang rapat, ruang perpustakaan, bahkan toilet yang tentunya memiliki permasalahan sendiri-sendiri. Ruang rapat dan perpustakaan memang dapat menjadi alternatif untuk menyusui atau memerah ASI, namun kondisi berbeda tentunya apabila ruang rapat atau perpustakaan menjadi fasilitas yang sering digunakan untuk aktivitas bekerja oleh orang lain. Lebih berbahaya lagi adalah menyusui atau memerah ASI di toilet karena tempat ini merupakan salah satu tempat yang paling banyak mengandung bakteri ataupun kotoran-kotoran lain yang dapat mengkontaminasi ASI.

Ketersediaan ruangan khusus menyusui atau memerah ASI akan berdampak sangat besar bagi kualitas dan kuantitas pemberian ASI oleh seorang ibu yang bekerja, selain faktor mendasar lain yaitu asupan gizi ibu menyusui itu sendiri. Menyusui atau memerah ASI sangat dipengaruhi oleh kondisi psikologis ibu, menyusui atau memerah ASI daalam keadaan nyaman, tenang, dan dalam waktu serta tempat yang semestinya akan meningkatkan kualitas dan kuantitas ASI. Kenyamanan seorang ibu yang bekerja untuk memberikan ASI, langsung atau tidak langsung, akan berdampak pada kinerja karyawab tersebut yang tetap fokus bekerja karena kebutuhannya sebagai seorang ibu menyusui sudah tercukupi.

Keharusan Menyediakan Ruang Laktasi di Gedung Perkantoran

Bulan Maret 2012 ini menjadi bulan yang menggembirakan bagi para ibu menyusui, Pemerintah telah mengeluarkan peraturan khusus yang mengatur mengenai pemberian ASI ekslusif yakni Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Ekslusif. Peraturan ini merupakan turunan dari peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 128 ayat (2) dan ayat (3) UU ini mengatur bahwa “Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus”, dan “Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat kerja dan tempat sarana umum”. UU ini juga menjamin hak bayi untuk mendapatkan ASI secara ekslusif yang lalu dituangkan dalam PP tentang Pemberian ASI Ekslusif di atas.

Dalam hubungannya dengan penyediaan fasilitas untuk ibu menyusui di kantor, PP di atas mengatur bahwa pengurus tempat kerja harus menyediakan fasilitas khusus untuk menyusui dan/atau memerah ASI sesuai dengan kondisi kemampuan perusahaan. Tempat kerja yang dimaksud dalam PP ini adalah perusahaan, perkantoran milik Pemerintah, Pemerintah daerah, maupun swasta. Selanjutnya PP ini juga mengharuskan pengurus tempat kerja untuk wajib memberikan kesempatan kepada ibu yang bekerja untuk memberikan ASI Eksklusif kepada bayi atau memerah ASI selama waktu kerja di tempat kerja dan untuk melaksanakannya harus membuat peraturan internal. Dari ketentuan yang diatur dalam PP di atas, sudah seharusnya perusahaan menyediakan fasilitas yang memadai sesuai kemampuan perusahaan untuk menyediakan fasilitas khusus untuk karyawati yang menyusui atau memerah ASI selama waktu dan di tempat kerja.

Dengan ketersedian fasilitas, baik sarana maupun instrumen peraturan internal, diharapkan adanya kenyamanan dan jaminan bagi para karyawati menyusui untuk memberikan ASI, langsung atau tidak langsung, yang diharapkan akan menciptakan suasana kerja yang kondusif dan peningkatan kinerja karyawati bersangkutan. Dukungan dari lingkungan formal ini tetap harus didukung oleh lingkungan informal berupa dukungan dari rekan kerja dan atasan karyawati yang menyusui.

*untuk Bunda Kirana sang Pejuang ASI
Read More..

14 February 2012

Mereka Punya Dunia Sendiri



Alkisah pada suatu tayangan talkshow di sebuah televisi swasta beberapa hari lalu (Febr-2012), bintang tamunya adalah penyanyi cilik yang berusia sekitaran 10-12 tahunan, laki-laki dan perempuan. Dengan pakaian a-la remaja masa kini, dan gaya bicara serta gestur yang lebih dari usia aslinya. Lalu si host acara tersebut (seorang magician yang sekarang lebih aktif jadi presenter bahkan juga komedian), meminta bintang tamunya bernyanyi, dan ternyata lagu-lagunya lebih banyak tak ada hubungannya dengan dunia mereka, dunia anak-anak tentunya.


*playlist yang masih ada di harddisk

Beberapa tempo lalu, tentu masih banyak yang ingat pada Enno Lerian, Joshua Suherman, Sherina, Tasya, dll, para penyanyi cilik yang pada jamannya rutin menghiasai layar televisi dengan lagu-lagu ceria, celoteh khas anak-anak. Pada era 90-an sampe awal 2000-an, anak-anak dengan setia -khususnya Minggu pagi- berkumpul di depan layar kaca menunggu penyanyi-penyanyi favorit mereka. Situasi yang sekarang susah ditemui lagi.

Keprihatinan muncul dari beberapa orang yang berpendapat bahwa anak-anak sekarang sudah cenderung kehilangan dunianya, dunia bermain, dunia ceria, karena disitu sesungguhnya mereka belajar. Kondisi ini yang antara lain memunculkan kampanye "never grow up", kampanya yang bukan dimaksudkan untuk menghambat anak-anak berabjak dewasa, namun lebih kepada mengingatkan orang tua agar lebih banyak meluangkan waktu buat anak-anaknya. Kampanye "never grow up" ini digagas oleh Phaerly Maviec Musadi dkk di Yayasan Adikaka. Adalagi pemerhati anak-anak yang menggagas situs berbagi lagu anak-anak gratis yaitu www.marinyanyi.com yang mempersilahkan pengunjung situsnya untuk mengunduh lagu-lagu anak gratis, bahkan pengunjung bisa request untuk dibuatkan lagu anak sesuai dengan tema atau syair yang diinginkan. Situs ini juga menghimbau kita untuk berbagi lagu anak yang dapat diunduh dari situs ini, gratis tentunya.

Aktivitas yang bernafaskan keprihatinan terhadap dunia anak yang mulai dicekoki dengan teknologi digital, multimedia, dll apapun namanya itu pada dasarnya memiliki tujuan sama yaitu, mengingatkan kita para orang tua bahwa anak-anak juga memiliki dunianya sendiri, bukan dunia yang bisa dibeli dengan uang dan kemajuan teknologi.

*

Dan saat ini makin banyak kontes menyanyi untuk anak-anak, lagu-lagu yang dinyanyikan adalah lagu-lagu milik Ungu, Peterpan, Armada, bahkan Ayu Tingting, bukan lagu-lagu Joshua kecil, Melissa kecil, dll. Atau kontes menari, yang populer saat ini buat anak-anak adalah tarian ala Justin Beiber. Kegiatan-kegiatan positif yang akan lebih indah kalau didorong untuk menjadikan anak-anak adalah "anak-anak".
Read More..

09 February 2012

Bersepeda, Yang Penting Hepiii...



Dulu, barangkali bersepeda sebagai kesenangan masih merupakan hal yang langka, lazimnya sepeda digunakan masih sebagai alat transportasi alternatif. Saat SMP di kampung halaman dulu, masih ingat di rumah ada sepeda federal (hadiah masuk SMP kalo ga salah nih), sepeda onthel (kalo yang ini kepunyaan bapak), dan sepeda jengki (entah apa panggilan kerennya) kepunyaan ibu. Saat berangkat sekolah di pagi hari selalu menjadi saat yang menyenangkan, berkerumus mengayuh sepeda dengan jarak sekitar 8 km dari rumah ke sekolah, bahkan tak jarang saling berboncengan (jengki+boncengan) saat ada yang sepedanya minta istirahat, pun soal bocor di ban yang hanya ditimpali tawa ceria.



Bersepeda kini menjadi tren baru, berbagai alasan yang melatarbelakanginya, dari sekedar hobi, olahraga, prestasi, sampai gengsi. Kesampingkan dulu alasan orang bersepeda, namun maraknya kegiatan B2W(bike to work) tentu merupakan tren positif yang patut diapresiasi. Tak perlu melihat terlalu jauh semisal mereduksi polusi, emisi atau keberlangsungan kehidupan, pesepeda cukup merasakan manfaatnya bagi diri pribadi lebih dulu. –bagi saya sih begitu-

Sering saya temui orang yang bertanya saat gowes B2W, “apakah kalori yang dibakar worth it dibanding dengan polusi yang diserap?”, kalo yang begini cukup dijawab “ah, sabodo teuing!!!”. Dulu saya juga berpikiran demikian, tapi kalau terlalu banyak pertimbangan, sepeda pun hanya cukup jadi pengurang ruang di rumah yang sudah sempit. –yang penting hepiii #ngutipiklan-

Persoalan selanjutnya yang ditemui para goweser B2W adalah bahwa kota Jakarta dan sekitarnya ini masih belum bersahabat dengan sepeda dan pesepeda. Memang tak bisa egois ketika kita meminta sedikit ruang di jalan kepada pengguna jalan yang lain, meski sebenernya undang-undang pun sudah memberikan hak untuk itu, plus ancaman pidana kurungan bagi yang melanggarnya.

“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki dan pesepeda” (Pasal 106 (2)).

Namun memang kenyataannya bahwa masyarakat belum memahami hak-hak pengguna jalan pesepeda masih perlu dimaklumi. Kondisi seperti itulah barangkali yang membuat beberapa sahabat penggowes B2W rajin mencari jalur alternatif untuk mengurangi berkendara di jalan raya dan mengurangi resiko bersinggungan dengan pengguna kendaraan bermotor lain di jalan raya.

Pengalaman B2W dengan kawan dari komunitas MTB-Rockers (yang ini maksudnya bukan Angus Young, Slash, atau James Heitfeld, tapi singkatan dari “rombongan kereta”), menelusuri jalur-jalur di pemukiman penduduk, istilah kerennya urban track kali ya, kebun-kebun penduduk, bahkan pemakaman umum jauh lebih mengasikan daripada berdesakan di sisa jalan yang terbatas. Kelebihan trek seperti ini adalah relatif lebih sepi, mengurangi resiko kecelakaan, serta udara pun lebih segar untuk pesepeda.

Soal fasilitas di ibukota, pernah ada angin segar ketika Pemrov DKI meresmikan jalur sepeda sepanjang 1,4 km (Taman Ayodya-Melawai), namun jalur tersebut tentunya masih belum memenuhi kebutuhan pesepeda, atau car free day di sepanjang Sudirman-Thamrin setiap hari Minggu, semoga fasilitas-fasilitas tersebut makin bertambah kuantitas dan kualitasnya. Pun hal-hal itu sebetulnya sudah ditahbiskan dalam undang-undang:

“Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa (antara lain) fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat” (Pasal 25 (1) huruf g).
“Fasilitas pendukung penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi (antara lain) lajur sepeda” (Pasal 45 ayat (1).
“Pemerintah harus memberikan kemudahan berlalu lintas bagi pesepeda” (Pasal 62 (1)).
dll…


Harapan pesepeda B2W tentu sederhana saja, lebih menikmati kenyamanan saat bersepeda, hak yang mestinya didapatnya menurut undang-undang. Namun, nampaknya pesepeda punya cara sendiri untuk menikmati bersepeda, salah satunya dengan “B2W rasa cross country” ala teman2 MTB-Rockers di atas.

Baru beberapa kali memang sepeda jadi alternatif transport saya berangkat dan pulang kantor, tapi sejauh ini yang saya rasakan adalah hepi, hepi dan hepi, karena saya setidaknya bisa mengenang saat umur belasan tahun dengan seragam putih biru mengayuh sepeda federal saya berpacu menuju pukul 07.00 pagi.

#undang-undang: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

Read More..

15 September 2011

Penambangan Pasir a la Pesisir Selatan Jawa



Sepintas tak ada yang aneh dengan aktivitas masyarakat pesisir selatan Jawa, tepatnya di daerah Adipala, Nusawungu sampai Binangun di Kabupaten Cilacap, kecuali di berbagai tempat terlihat bukit-bukit pasir artifisial. Seperti yang saya saksikan (Sabtu, 27 Agustus 2011) di sekitar Pantai Selok, Adipala, gugusan bukit pasir dengan tinggi antara 3-10 meter terlihat mulai dari pekarangan warga, ladang, sawah, sampai lahan di dekat pantai. Dari info yang saya dapat, pasir itu bukan sembarang pasir, tapi pasir besi, bahan baku dalam industri besi baja dan industri semen yang tentu dimaklumi kalau nilai ekonominya cukup tinggi.


*Adipala, 2011

Dari berbagai artikel media massa, penambangan pasir besi rakyat ini menuai kontroversi dari berbagai pihak, pihak yang pro tentunya yang menikmati laba tidak sedikit dari nilai jual pasir besi serta terserapnya beberapa gelintir tenaga kerja, termasuk "para jawara" yang menjaga lokasi pertambangan. Namun tak sedikit yang dengan keras menolak adanya penambangan pasir besi di Cilacap ini, pihak yang kontra berpendapat bahwa penambangan pasir besi ini sudah pada tahap merusak ekosistem pantai. Dari apa yang terlihat di pantai sekitar Gunung Selok, penambangan pasir hanya berjarak "sepelemparan batu" dari lidah air laut di pantai, sekitar 100m. Hal ini berpotensi memicu abrasi, ditambah lagi dengan adanya lubang2 sisa penambangan yang otomatis tak bisa lagi ditanami pohon-pohon yang berfungsi mengurangi dampak abrasi. Kondisi yang sangat mengkhawatirkan ini ditambah dengan kenyataan bahwa pantai Cilacap adalah salah satu "zona merah" tsunami, yang notabene akan sangat berbahaya akibatnya ketika ekosistem pantai sendiri telah tidak memiliki daya dukung yang maksimal dalam menangkal kerusakan akibat tsunami.

Dalam lingkup yang lebih luas, penambangan pasir besi juga berefek pada rusaknya infrastruktur jalan di wilayah Cilacap yang dilalui truk-truk pengangkut pasir besi. Rusaknya jalan karena beban berlebih dari truk pengangkut juga terjadi di wilayah CIlacap bagian barat dengan masuknya truk-truk pengangkut pasir besi dari daerah Tasikmalaya. Bahkan masyarakat di pesisir selatan Cilacap tak sedikit yang menolak adanya penambangan pasir besi.
Read More..

Search Box