04 June 2013

Mimpi #1/13: Jakarta, “Mimpi Surga” Pejalan Kaki



Pada suatu pagi...

Pagi ini, dan seperti pagi-pagi weekdays yang lain, kaki-kaki yang tergesa berkerumus keluar dari rangkaian gerbong di Stasiun Palmerah. Begitu juga, sebut saja Parja, tak kalah tergesa mengayunkan kakinya sigap turun dari footstep rangkaian CommuterLine pagi. Parja musti berhitung waktu tempuhnya sampai tujuan perjalanan pagi itu, kantor. Parja sadar setiap ayunan langkah akan diperhitungkan dengan detik waktu “di mesin presensi” kantornya. Dan untuk menempuh jarak yang cuma sepenggalan itu, sekira 600m saja, lagi-lagi Parja mesti membuat perhitungan matang dengan risiko-risiko pejalan kaki di jalan raya. Penyeberangan jalan yang minim marka, fasilitas pejalan kaki (baca:trotoar) yang ala kadarnya, dan tabiat pengendara kendaraan bermotor yang luar biasa “bersahabat” (dengan maut). Seperti pagi ini yang Parja putusakan untuk menempuh sisi lain jalan yang biasa dia lalui, dia baru sadar kalau trotoar yang tersedia tinggal tersisa separuh dari lebar 5 kaki-nya (untuk itu pedagang di trotoar disebut pedagang kaki lima), karena tertutup pembatas non-permanen dari proyek pembangunan sebuah gedung. Sangat tidak nyaman rasanya Parja harus berbagi trotoar yang sempit itu dengan pejalan kaki lain, dengan pot-pot bunga yang bermaksud memperindah, dan beberapa ruas trotoar yang “tersita” oleh standing banner toko di belakangnya. Ahhh, kasihan Parja…

 #

Stasiun Palmerah merupakan beberapa stasiun yang menjadi pemberhentian terakhir para pekerja komuter. Stasiun ini menghubungkan daerah penyangga Bintaro, Serpong, Pamulang, dan beberapa daerah lain di Tangerang dan Tangerang Selatan dengan pusat kota Jakarta (Senayan, Slipi, Sudirman, Blok M, dan sekitarnya). Selain Palmerah, roker (rombongan kereta) juga menyasar Stasiun Tanah Abang, Stasiun Sudirman, Stasiun Karet, sampai Manggarai, dan ini baru untuk ruas perjalanan kereta dari Maja/Parungpanjang/Serpong menuju Tanah Abang. Tak terbayangkan jalur lain, Bogor/Depok-Jakarta, Bekasi-Jakarta, yang memang lebih padat dari jalur perjalanan kereta Parja.

Parja, dan pasti banyak komuter yang lain, paham dan sangat sadar kalau memang hanya kereta pilihan yang paling logis untuk bertransportasi di Jakarta yang luar biasa… –perlu dijelaskan?tentunya tidak-. Seperti Parja yang cuma butuh berdiri sekitar 20menit di dalam kereta dari stasiun pemberangkatannya di Sudimara, alih-alih menggunakan moda transportasi konvensional semacam bis, mobil pribadi, atau motor, untuk sampai ke kantor. Namun seperti Parja pula, ribuan pengguna kereta tersebut masih harus melanjutkan perjalanan dari stasiun sampai tempat tujuan, banyak diantaranya dengan berjalan kaki.

*

Ingat acara di tivi jaman dulu “Who Dares Win”?, itu barangkali sedikit ungkapan tepat buat keberanian para pejalan kaki di kota-nya Parja ini. Kalau mau jujur, Parja pasti akan bicara, berjalan kaki di kota ini jauh lebih ber-risiko dibanding berjalan di tubir jurang kawah Gunung Slamet misalnya (ahhh, Parja lebayyy), aktivitas kesukaannya dulu. Ato ekstrimnya -secara akumulasi- risiko pejalan kaki adalah “maut”, sama seperti risiko pemanjat Everest meniti Hillary Step (yang ini Parja aseli ngawur). Bagaimana tidak, berjalan kaki di Jakarta adalah berarti juga bergelut dengan fasilitas pedestrian yang seadanya, minimnya tempat penyeberangan, resiko terserempat mobil/motor, dan yang paling banal adalah udara yang dihirup adalah emisi gas buang mobil/motor itu.

Pejalan kaki, siapa sih dia? Katanya “Pejalan Kaki adalah setiap orang yang berjalan di Ruang Lalu Lintas Jalan, prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah kendaraan, orang, dan/atau barang yang berupa Jalan dan fasilitas pendukung”, setidaknya itu kata UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (22/2009), bukan omongan Parja yang ga jelas. Kalau sampai undang-undang merasa perlu mengatur pengertiannya, tentunya ada urgensi lain yang diatur selain sekedar pengertian.

Dalam UU tersebut, jelas diatur bahwa si pejalan kaki punya hak juga atas jalan. UU mewajibkan agar jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum dilengkapi dengan (antara lain) fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki, dan penyandang cacat. Lalu hak pejalan kaki juga dijamin disitu, pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain. Pejalan kaki berhak mendapatkan prioritas pada saat menyeberang jalan di tempat penyeberangan. Nah, kalau fasiltas-fasilitas tersebut belum tersedia, maka pejalan kaki berhak menyeberang di tempat yang dipilih dengan memperhatikan keselamatan dirinya. Namun disamping itu, pejalan kaki wajib menggunakan bagian jalan yang diperuntukkan bagi pejalan kaki atau jalan yang paling tepi, atau menyeberang di tempat yang telah ditentukan. Dalam hal tidak terdapat tempat penyeberangan yang ditentukan, pejalan kaki wajib memperhatikan keselamatan dan kelancaran lalu lintas.

Memang masih jauh panggang dari api, namun semakin banyaknya pilihan orang untuk berjalan kaki, mestinya tidak sekedar beleid belaka yang disediakan Pemerintah, namun aksi nyata ketersediaan fasilitas yang nyaman bagi pejalan kaki masih merupakan mimpi yang indah bagi Parja dan kawan-kawannya.

Parja barangkali hanya satu dari sekian banyak pemimpi itu. Ada pula (sebut saja) BP, yang setia pada hobinya bersepeda dari rumah di Pamulang sampai kantor di bilangan Senayan. Dan akhir-akhir ini yang mencoba dengan menikmati berjalan kaki tidak sekedar menempuh Stasiun Palmerah-Senayan, namun Stasiun Kebayoran-Senayan pun beberapa kali dinikmatinya dengan berjalan kaki, konon lebih dari 4 kilometer ditempuhnya sekali jalan.

#

Memang, kalau dipikir jauh, menjadikan Jakarta kota yang nyaman dalam 5-10 tahun ke depan masih menjadi mimpi belaka, setidaknya untuk pejalan kaki seperti Parja dan BP. Namun, menciptakan kota yang humanis tentu bukan tugas penyelenggara negara belaka, lebih jauh kesadaran dan prtisipasi warganya mutlak diperlukan. Karena, menurut keyakinan orang-orang seperti Parja, kemajuan suatu kota antara lain diukur dari kenyamanan yang disediakan bagi pejalan kaki (dan pesepeda). (Jumat, 31 Mei 2013)

2 comments:

  1. Parja...Oh... Parja di semrawutnya Ibu Kota, pulang kampung aja...

    ReplyDelete

Search Box