Persaudaraan Dalam Kesahajaan Yang Tak Mengenal Batas
“Sekelompok anak muda berumur 20-an berjalan menahan lelah menyusuri tepian hutan, pada sebuah petang di lereng Gunung Slamet. Hujan yang mengguyur membuat tubuh dan barang bawaan mereka basah, taka da lagi yang tersisa untuk dibuat alat pelindung dari hujan. Pada sebuah jalan makadam di tengah hutan pinus, mereka bertemu seorang petani tua dengan istrinya yang nampaknya juga menahan letih dalam perjalanannya pulang ke rumah setelah sehari memeras keringat menahan encok di ladang. Sekelompok muda-mudi yang kelelahan itu menyapa dan terjadi obrolan singkat dengan sepasang petani tua, tentang asal-usul dan maksud ada di tempat yang jauh dari perkampungan di tengah hujan lebat. Singkat cerita, sepasang petani tua tersebut menawarkan sekelompok pemuda itu untuk menginap di rumah mereka di dusun. Setelah dengan sedikit basa-basi, akhirnya setelah melihat kenyataan kondisi yang kelelahan dan masih jauhnya tujuan akhir mereka serta susahnya membuka tenda untuk bermalam, mereka menerima tawaran bapak dan ibu petani itu dengan suka cita”
Sekelumit cerita di atas kudapat dari beberapa seniorku di perkumpulan mahasiswa kami di kampus. Survei lapangan yang mereka lakukan untuk kegiatan pendidikan dasar (diksar) perkumpulan penggiat olahraga alam bebas di kampus kami ini memang selalu akrab dengan hujan yang menjadi ciri hutan tropis seperti hutan di lereng Gunung Slamet. Pertemuan senior kami di perkumpulan tersebut yang terjadi sekitar tahun 2000-an mengantarkan kami pada pertemanan, persahabatan dan sampai sekarang telah menjadi persaudaraan dengan keluarga besar Rasito dari Dukuh Windusari di lereng Slamet. Bahkan secara umum masyarakat dusun paling atas sebelum hutan Slamet tersebut selalu ramah saat menjamu kami di dukuh mereka.
Rumah yang terletak di pinggiran Dukuh Windusari sekitar 200m dari batas vegetasi hutan pinus Gunung Slamet itu tidak lagi bisa dikatakan sederhana sebagaimana rumah2 lainnya di kampung kecil itu. Konstruksi fondasinya batu kali, dinding batu batanya berplester, lantainya keramik putih, jendelanya berkaca bening, atap genteng, sofa kulit imitasi, bahkan televisi plus DVD player telah menjadi pelengkap rumah itu. Namun, ‘kemewahan’ rumah keluarga Bapak Rasito itu tak bisa menutupi kesahajaan dan keramahan keluarga Rasito yang memiliki beberapa anak dan beberapa diantaranya pergi merantau ke luar daerah, bahkan sampai ke luar negeri. Posisi rumah yang tak kalah dengan villa peristirahatan milik orang-orang kaya yang benyak terdapat di Baturaden (sekitar 1,5km dari Windusari) membuat kami selalu betah berlama2 disitu, dengan hamparan sawah padi di depan rumah, dan pandangan jauh yang akan membentur pada lanskap kota Purwokerto, serta gagahnya Gunung Slamet di latar belakang rumah, sempurna.
(capture jadul, 2003)
Aku yang berkenalan dengan keluarga tersebut sekitar sewindu lalu telah merasakan tulusnya persaudaraan kami, bahkan sampai saat saya didapuk menjadi saksi pada pernikahan anak terakhir keluarga Rasito, Rasikun, pada tahun 2006 lalu, sungguh suatu penghormatan yang luar biasa bagiku. Kegiatan perkumpulan kami yang memang rutin kami lakukan di hutan seputaran lereng Slamet, mulai dari survey diksar, diksar, diksar lanjutan, latihan orienteering, simulasi Search and Rescue (SAR), membuat hubungan anggota dari perkumpulan kami makin dekat dengan keluarga tersebut. Sudah menjadi kebiasaan beberapa dari kami yang selalu menyempatkan sekedar numpang ngopi di rumah keluarga Rasito, sembari bercerita ngalor-ngidul.
***
Beberapa hari lalu, 10 April 2010, keluargaku di sebuah desa di Cilacap sedang berhajat ngunduh mantu pada rangkaian pernikahanku. Sebelumnya pada seorang kawan di Purwokerto, kutitipkan pesan untuk menyampaikan kabar bahagia pernikahanku pada keluarga Rasito, dengan berharap mereka memiliki kesempatan untuk datang. Dan sore itu, selepas magrib ditengah gerimis yang turun di sela acara kami, dengan diantar oleh kawan2 di perkumpulan HMPA Yudhistira, keluarga Rasito datang dari jauh, Bapak, Ibu, Rasikun, serta si kecil Intan dan Agung, dengan terlihat letih tersenyum seakan ikut merasakan kebahagiaanku. Sungguh suatu kejadian yang membuat saya terharu, dengan segala kesederhanannya, mereka tetap meluangkan waktu untuk mengucapkan selamat secara langsung kepadaku. Dan dengan ini, sekali lagi aku ingin membagi kebahagiaan ini dengan mereka.
Tak pernah terbayangkan olehku, jarak antara rumah keluarga Rasito di lereng Slamet dengan rumahku yang cukup jauh, tak menjadi penghalang bagi mereka untuk datang ke acaraku. Dan rasa berasalahku timbul karena setahun terakhir aku belum berkesempatan silaturrahim ke Windusari.
Senyum tulus yang senantiasa tergambar dari wajah mereka, selalu megningatkanku bahwa persaudaraan tidak mengenal batas ruang, waktu, apalagi hubungan darah. Semua terkikis oleh rasa ikhlas untuk saling mencurahkan kebahagiaan, kegembiraan, dan kasih sayang sebagai sesama mahluk yang dikaruniai-Nya hidup di atas bumi. Seperti kata Rudolf Shenker dkk, “'cause we all live under the same sun, we all walk under the same moon”.
***terimakasih untuk kawan2 HMPA Yudhistira yang sudi mengantarkan Rasikun sekeluarga, Topan, Akbar, Hamzah, Ricky (thanks Blazer-nya bro!!!), Siska, Kiki, Buyung, Sony, Ii, Deny, Dicky, Tika, Indah. Saya suka telah membuat kalian semua salah kostum, hahahaaa….***
Read More..
Walaupun Indonesia terkaya di dunia, tetapi selama sains tiada merdeka, seperti politik negaranya, maka kekayaan Indonesia tidak akan menjadikan penduduk Indonesia senang, melainkan semata-mata akan menyusahkannya, .... (Madilog, Tan Malaka)
13 April 2010
09 April 2010
Merokok, Tabu-kah???
Sejak sekitar 1000 tahun sebelum masehi, warga asli benua Amerika (Indian, Maya, Aztec) sudah menghisap tembakau pipa atau bahkan mengunyahnya, sampai saat kedatangan rombongan penjelajah Columbus ratusan tahun kemudian yang membawa tembakau ke ‘peradaban’ Eropa. Perdagangan tembakau sendiri sudah dimulai sejak tahun 1600-an, dan tetap menjadi komoditas perdagangan yang menggiurkan hingga detik ini.
Hingga ratusan tahun kemudian setalah muhibah Columbus ke benua yang baru ditemuinya, rokok telah menjadi komoditas bisnis dan konsumsi yang sangat menggiurkan bagi para pelaku bisnisnya dan sangat dicari bagi para penikmatnya. DI Indonesia sendiri, meski ada beberapa cerita yang mengatakan bahwa rokok telah ada sejak jaman Majapahit, namun sejarah rokok (terutama kretek)di negeri ini tidak bisa dilepaskan dari sebuah kota kecil di timur Jawa Tengah yaitu Kudus, dan sampai detik ini bahkan kota tersebut terkenal dengan sebutan Kota Kretek.
***
Sehari-hari sudah sangat lazim kita temui teman, tetangga, teman kantor, teman se-angkot, atau siapapun menghisap lintingan tembakau di sekitar kita. Tiada mengenal usia, gender, apalagi SARA, rokok telah menjadi semacam kebutuhan bagi ‘pecandu’-nya. Rokok yang dihisap oleh para pelajar, umumnya usia SMP atau SMA , juga bukan lagi hal yang tabu, juga oleh para wanita, bahkan rokok kini menjadi semacam gaya hidup bagi bagi muda-mudi dalam bergaul.
Lalu apakah rokok itu menguntungkan atau merugikan??pertanyaan seperti ini akan menjadi sangat komplek apabila dipandang dari berbagai sudut pandang, produsen dari hulu sampai hilir, distributor, konsumen, Pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan pemungut “upeti”. Tidak dapat dipungkiri kalau industri rokok melibatkan berbagai sektor, mulai dari petani, industri kertas, sampai kenyataan bahwa industri rokok menyerap tenaga kerja yang masif. Hal ini ditambah lagi apabila dilihat dari proses distribusi rokok sendiri, contohnya rokok merek GG yang diproduksi di Kediri menjadi barang yang sangat dicari di Aceh Jaya –pengalaman penulis mencari barang tersebut di Calang, Aceh Jaya-.
Rokok juga memiliki kedudukan “mulia” dalam APBN sebagai penyumbang penerimaan cukai terbesar. Pada tahun 2010 ini saja, proyeksi penerimaan cukai rokok dan tembakau diperkirakan mencapai 55,3 triliun rupiah, bandingkan dengan proyeksi penerimaan cukai selain rokok dan tembakau yang “hanya” 3 triliun rupiah. Hal ini tentunya menempatkan rokok sebagai komponen penyumbang penerimaan negara yang cukup strategis. Belum lagi banyaknya sektor lain yang mendapatkan keuntungan dari adanya industri rokok dan tembakau.
Kemudian dengan sedemikian besarnya keuntungan dari rokok tersebut, bagaimana dengan efek negatif yang ditimbulkannya?
Berbagai sumber mengatakan bahwa, rokok mengandung kurang lebih 4000 elemen, dan setidaknya 200 diantaranya dinyatakan berbahaya bagi kesehatan. Racun yang dominan pada rokok adalah tar, nikotin, dan karbon monoksida. Tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru. Nikotin adalah zat adiktif yang mempengaruhi syaraf dan peredaran darah. Zat ini bersifat karsinogen, dan mampu memicu Kanker Paru yang mematikan. Sedangkan karbon monoksida adalah zat yang mengikat hemoglobin dalam darah, membuat darah tidak mampu mengikat oksigen. Efek racun pada rokok ini membuat pengisap asap rokok memiliki risiko kesehatan yang lebih besar dibanding yang tidak mengisap asap rokok.
Kenyataan klinis di atas masih ditambah dengan beberapa hal yang melibatkan keyakinan tertentu. Ada ormas agama tertentu yang menyatakan bahwa merokok adalah haram, bahkan berita beberapa hari ini dihebohkan oleh pernyataan yang menyatakan bahwa dalam busa filter rokok terdapat hemoglobin babi!!soal kebenarannya, wallaahu a’lam bishshawab
Beberapa hal di atas nyatanya belum mampu membuat sebagian dari kita berhenti merokok, termasuk penulis sendiri yang sampai beberapa waktu lalu masih menghisap racun nikmat tersebut. Dan Alhamdulillah, dimulai akhir 2009, penulis bisa menghentikan kebiasaan itu, dan semoga tetap tidak tertarik, hohohoooo…
Pengalaman penulis, berhenti merokok bukan hal yang susah-susah amat, “asal ada niat dari pelakunya”, aha…terlepas dari factor bahwa saya bukan pecandu, hanya penikmat. Namun beberapa kawan –yang sudah mencapai level ahli hisap- menuturkan bahwa kebutuhan akan rokok sudah mutlak, bahkan ada ujar-ujar lebih baik ga makan daripada tida’ merokok, alamakkkk…. Sampai-sampai penulis pernah bertemu sseorang yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagai Muslim berpuasa di bulan Ramadhan dengan alasan “kalau ga makan minum saya kuat, tapi kalau merokok itu yang ga nahan”.
Sungguh rokok telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia, setidaknya di negeri tercinta ini….
PS: tulisan ini pendapat pribadi, bukan tulisan ilmiah, data2 dan gambar didalamnya didapat dari berbagai sumber , tidak saya lampirkan sumbernya dan disusun secara serabutan terserah saya, tanpa kaidah akademis apalagi metode penulisan normatif ‘mistis’ sekalipun. Maturnuwun….
“Peringatan Pemerintah: Merokok Dapat Menyebabkan Kanker, Serangan Jantung, Impotensi, Dan Gangguan Kehamilan Dan Janin” Read More..
Hingga ratusan tahun kemudian setalah muhibah Columbus ke benua yang baru ditemuinya, rokok telah menjadi komoditas bisnis dan konsumsi yang sangat menggiurkan bagi para pelaku bisnisnya dan sangat dicari bagi para penikmatnya. DI Indonesia sendiri, meski ada beberapa cerita yang mengatakan bahwa rokok telah ada sejak jaman Majapahit, namun sejarah rokok (terutama kretek)di negeri ini tidak bisa dilepaskan dari sebuah kota kecil di timur Jawa Tengah yaitu Kudus, dan sampai detik ini bahkan kota tersebut terkenal dengan sebutan Kota Kretek.
***
Sehari-hari sudah sangat lazim kita temui teman, tetangga, teman kantor, teman se-angkot, atau siapapun menghisap lintingan tembakau di sekitar kita. Tiada mengenal usia, gender, apalagi SARA, rokok telah menjadi semacam kebutuhan bagi ‘pecandu’-nya. Rokok yang dihisap oleh para pelajar, umumnya usia SMP atau SMA , juga bukan lagi hal yang tabu, juga oleh para wanita, bahkan rokok kini menjadi semacam gaya hidup bagi bagi muda-mudi dalam bergaul.
Lalu apakah rokok itu menguntungkan atau merugikan??pertanyaan seperti ini akan menjadi sangat komplek apabila dipandang dari berbagai sudut pandang, produsen dari hulu sampai hilir, distributor, konsumen, Pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan pemungut “upeti”. Tidak dapat dipungkiri kalau industri rokok melibatkan berbagai sektor, mulai dari petani, industri kertas, sampai kenyataan bahwa industri rokok menyerap tenaga kerja yang masif. Hal ini ditambah lagi apabila dilihat dari proses distribusi rokok sendiri, contohnya rokok merek GG yang diproduksi di Kediri menjadi barang yang sangat dicari di Aceh Jaya –pengalaman penulis mencari barang tersebut di Calang, Aceh Jaya-.
Rokok juga memiliki kedudukan “mulia” dalam APBN sebagai penyumbang penerimaan cukai terbesar. Pada tahun 2010 ini saja, proyeksi penerimaan cukai rokok dan tembakau diperkirakan mencapai 55,3 triliun rupiah, bandingkan dengan proyeksi penerimaan cukai selain rokok dan tembakau yang “hanya” 3 triliun rupiah. Hal ini tentunya menempatkan rokok sebagai komponen penyumbang penerimaan negara yang cukup strategis. Belum lagi banyaknya sektor lain yang mendapatkan keuntungan dari adanya industri rokok dan tembakau.
Kemudian dengan sedemikian besarnya keuntungan dari rokok tersebut, bagaimana dengan efek negatif yang ditimbulkannya?
Berbagai sumber mengatakan bahwa, rokok mengandung kurang lebih 4000 elemen, dan setidaknya 200 diantaranya dinyatakan berbahaya bagi kesehatan. Racun yang dominan pada rokok adalah tar, nikotin, dan karbon monoksida. Tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru. Nikotin adalah zat adiktif yang mempengaruhi syaraf dan peredaran darah. Zat ini bersifat karsinogen, dan mampu memicu Kanker Paru yang mematikan. Sedangkan karbon monoksida adalah zat yang mengikat hemoglobin dalam darah, membuat darah tidak mampu mengikat oksigen. Efek racun pada rokok ini membuat pengisap asap rokok memiliki risiko kesehatan yang lebih besar dibanding yang tidak mengisap asap rokok.
Kenyataan klinis di atas masih ditambah dengan beberapa hal yang melibatkan keyakinan tertentu. Ada ormas agama tertentu yang menyatakan bahwa merokok adalah haram, bahkan berita beberapa hari ini dihebohkan oleh pernyataan yang menyatakan bahwa dalam busa filter rokok terdapat hemoglobin babi!!soal kebenarannya, wallaahu a’lam bishshawab
Beberapa hal di atas nyatanya belum mampu membuat sebagian dari kita berhenti merokok, termasuk penulis sendiri yang sampai beberapa waktu lalu masih menghisap racun nikmat tersebut. Dan Alhamdulillah, dimulai akhir 2009, penulis bisa menghentikan kebiasaan itu, dan semoga tetap tidak tertarik, hohohoooo…
Pengalaman penulis, berhenti merokok bukan hal yang susah-susah amat, “asal ada niat dari pelakunya”, aha…terlepas dari factor bahwa saya bukan pecandu, hanya penikmat. Namun beberapa kawan –yang sudah mencapai level ahli hisap- menuturkan bahwa kebutuhan akan rokok sudah mutlak, bahkan ada ujar-ujar lebih baik ga makan daripada tida’ merokok, alamakkkk…. Sampai-sampai penulis pernah bertemu sseorang yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagai Muslim berpuasa di bulan Ramadhan dengan alasan “kalau ga makan minum saya kuat, tapi kalau merokok itu yang ga nahan”.
Sungguh rokok telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia, setidaknya di negeri tercinta ini….
PS: tulisan ini pendapat pribadi, bukan tulisan ilmiah, data2 dan gambar didalamnya didapat dari berbagai sumber , tidak saya lampirkan sumbernya dan disusun secara serabutan terserah saya, tanpa kaidah akademis apalagi metode penulisan normatif ‘mistis’ sekalipun. Maturnuwun….
“Peringatan Pemerintah: Merokok Dapat Menyebabkan Kanker, Serangan Jantung, Impotensi, Dan Gangguan Kehamilan Dan Janin” Read More..
Subscribe to:
Posts (Atom)