Orang-orang yang mengenal tempatku dilahirkan disini, barangkali ada beberapa yang sepakat denganku bahwa sulit mengharapkan “masa depan” dari desa ini (murni pendapat pribadiku, dan berlaku bisa jadi untukku saja). Hidup yang hanya bersandar pada hasil pertanian, sawah tepatnya, serta sedikit variasai mata pencaharian lain. Pengangguran yang ada dimana-mana, kekurangan yang nampak disana-sini, tidak bisa tidak merupakan masalah sosial yang selalu menghantui desa ini. "masa depan" yang kumaksud, adalah masa depan bagi orang2 sepertiku, yang tidak memiliki akar agraris yang kuat, sedikit darah pedagang dari kakek dan ibu, serta ayah yang seorang pengabdi negara. Di desa ini aku rasakan tidak ada ruang bagiku untuk maju, lebih karena memang aku tak mampu.
Tiga tahun lalu nasib membawaku pergi, merantau yang sebenar-benarnya pergi, karena sebenarnya sudah sejak SMA aku tak lagi tinggal di desa ini. hampir separuh usiaku habis dalam perantauan. kesadaran akan sempitnya bergerak maju (bagiku) disini yang menuntunku untuk mengembara dari daerah ke daerah lain sampai akhirnya ke jakarta sampai saat ini. tidak lain aku lakukan untuk bisa terus bertahan hidup dengan sedikit kemampuan survival di dunia antah berantah bernama negeri sontoloyo ini.
Dua hari lalu, aku pulang, seperti yang orang-orang bilang "mudik" ke asal hidupku dimulai di muka bumi. beberapa malam sebelumnya, seorang teman berujar "kenapa sih, orang-orang pada heboh mudik, kan bisa menunggu seminggu setelah lebara, ambil cuti, lancar deh perjalanan". perkataan temen itu sempet mengganggu pikiranku sejenak, sampai akhirnya malam ini kurasakan yang sesungguhnya dari makna sebuah perjalanan melelahkan yang dinamakan "mudik".
Setiap malam 1 Syawal (tentunya setelah merujuk pada hasil sidang isbath departemen agama), terjadi aktivitas yang menarik di desaaku ini. selepas magrib, setelah sebagian banyak penduduknya menyelesaikan ibadah puasanya yang terakhir sebelum syawal, kalimat takbir berkumandang dimana-mana, lazimnya ditemui di semua bagian bumi ini yang bermayoritas muslim.
Masyarakat terlihat berlalu lalang di jalanan kampungku yang tak beraspal, membawa kerendeng, jinjingan yang terbuat dari anyaman plastik atau kantong jinjing jenis lain yang berisi kantong plastic kresek berisi beras seberat kurang lebih 2,8kg (sebagian lain bilang 2,5kg,wallaahu a’lam). Zakat, ya, memang itu yang sedang dilakukan warga di dusunku saat malam takbir, berbagi zakat fitrah kepada pihak-pihak yang berhak. Fakir miskin dan mujahid fii sabilillah adalah sasaran zakat yang biasa menerima zakat dari masyarakat. Mujahidin fii sabilillah disini adalah para kiyai, pengajar madrasah, guru mengaji, dan orang-orang yang mendarmakan hidupnya untuk berjuang di jalan Alloh.
Zakat fitrah yang memang wajib bagi umat muslim merupakan implementasi kesadaran berbagi dalam khasanah bermasyarakat umat muslim. Berbagi disini tidak hanya bermakna dari yang mampu kepada yang tak mampu, namun karena wajib, maka mampu atau tidak, akan menyisihkan hartanya untuk berzakat ini. Sungguh indah situasi berbagi yang ku alami di dusunku (dan di masyarakat muslim lainnya). Keindahan yang kudamba akan menjadi urat nadi kedamaian dunia.
Dan sampai mataku berkedip, tak mampu kuteruskan tulisan ini…ngantuk.
(semoga) bersambung.
(Malam 1 Syawal 1430 H, 03.00, dan disunting lagi 11 hari setelahnya).
No comments:
Post a Comment