Suatu waktu di akhir 2009, dalam sebuah libur akhir minggu, saya berkesempatan berkunjung ke Lampung, sebuah daerah di ujung selatan pulau Sumatera, juga daerah Sumatera yang paling "jawa". Daerah yang karena kedekatannya dengan pulau terpadat di negeri ini -kurang lebih 2 jam menyeberangi Selat Sunda-, menjadi daerah yang beranjak menjadi seperti jawa. Tidak sekedar karena industri , pelabuhan, dan generally perekonomiannya yang semakin menggeliat, namun juga karena banyaknya perantau dari tanah Jawa di daerah ini.
Orang banyak mengenal Lampung karena gajah-nya, bisa jadi memang begitu, meskipun secara umum masih banyak potensi daerah ini yang bisa digali selain "hanya" faktor gajah. Pusat pelatihan gajah di Lampung, tepatnya di Way Kambas, (dahulu) memang menjadi salah satu ikon wisata Lampung. jadi mumpung ada kesempatan ke Lampung, tak saya sia-siakan kesempatan ini buat menengok 'sekolah' gajah tersebut, walau sekejap.
Seperti info dari seorang kawan yang tinggal di Lampung, ke Way Kambas akan memakan waktu yang cukup lama, dan perjalanan yang panjang, heheeee....-belum percaya kalau belum ngalamin-. Hari itu, Jumat, 18 desember 2009, saya dan beberapa teman meluncur menuju Way Kambas, membelah Tanah Lado. Kenapa Tanah Lado??ya, Lampung dulunya, utamanya pada jaman kolonialisasi VOC di negeri ini, Lampung menjadi daerah yang mashur sebagai penghasl lada hitam, magnet bagi-bagi kaum Eropa untuk :menjamah" neger-negeri di timur. *damn!!!*
sekitar 3 jam, akhirnya berhenti juga perjalanan dari Tanjung Karang-Lampung Timur pada sebuah rimbunan hutan dan perdu bernama Way Kambas.
“Penuh pertanyaan” adalah kesan saya pertama begitu menyelesaikan administrasi di pos penjagaan, jalan yang kami lalui selepas pos menuju pusat pelatihan ternyata hanya berupa jalan aspal dengan lebar tak lebih dari 5 meter dengan aspal yang telah mengelupas, bahkan ada beberapa meter ruas jalan yang melulu berupa tanah liat, apakah ini Way kambas yang kesohor itu. Dan lebih membuat saya bertanya-tanya lagi adalah kenapa dari jalan raya tidak ada akses transportasi sekedar sampai ke pos penjagaan???lalu bagaimana dengan pengunjung yang tak bawa kendaraan sendiri??ahhhh...terbayang ojek2 yang menawarkan jasanya dengan harga yang belum kutahu. beruntung dalam perjalanan ini, kami membawa kendaraan sendiri.
Lewat setengah jam perjalanan dari pintu gerbang utama, setelah membelah hutan perdu dengan jalan aspal yang tak bagus, sampailah kami di pusat pelatihan gajah. Lahan parkir di area ini berupa lapangan berumpun seluas kurang lebih seukuran lapangan sepakbola, dan tak berbatas dengan lapangan tempat belalai-belalai gajah sumatera menyapa para pengunjung yang baru turun dari kendaraan. Setelah sadar betapa jauhnya sampai ke sekolah gajah ini dari pintu gerbang, lagi2 saya bertanya, bagaimana dengan pengunjung yang tak membawa kendaraan sendiri??
Setelah puas menyaksikan gajah-gajah yang bercengkerama dengan pengunjung, saya berjalan melewati gedung kantor yang cukup using menuju danau buatan kecil tempat memandikan gajah. Di lokasi ini terlihat beberapa ekor gajah yang sedang dimandikan oleh pawangnya masing-masing. Dari tepi kolam, sekitar “sepelemparan batu” kea rah barat laut, terlihat mess, lebih tepatnya barak yang tak terawat, tempat tinggal para pawang gajah. Sungguh memprihatinkan melihatnya, mereka yang dengan sabar setiap saat menemani gajah-gajah bermain, memandikan, sampai menggiring pulang kandang kala petang menjelang. Salah satu pawang yang sdang tidak bertugas dan kami ajak ngobrol mengatakan bahwa perhatian Pemerintah sekarang tidak seperti dulu lagi. Sekarang lebih tidak terawat, kurang diperhatikan, entah benar atau tidak pernyataan ini, entah??tapi sepenglihatan saya bisa jadi benar, tempat ini tidak seheboh kemashurannya.
Pada jurusan lain yang melatarbelakangi kolam, padang rumput puluhan hektar dengan titik-titik hitam di kejauhan menjadi pemandangan yang menakjubkan karena titik-titik hitam itu adalah gajah-gajah yang sedang dilepas mencari makan sendiri. *ternyata gajah itu kecil, hohohoooo*
Untuk mengelilingi area yang sangat luas seperti ini, pengunjung dapat menggunakan kereta mobil yang berkapasitas sekitar 10-15an orang, atau bagi yang menyukai tantangan dapat berkeliling naik di atas punggung gajah yang cukup lebar.
Sampai saat petang menjelang, dan setelah dimandikan, masing-masing gajah mulai digiring masuk ke kandang oleh pawangnya. Saat itu pula aktivitas di Way Kambas berhenti, dan hanya obrolan para pawang di mess yang akan mewarnai, sambil menunggu dan berharap hari esok datang membuat sekolah gajah ini menjadi lebih baik, buat gajah-gajah dan tentunya buat para pawang yang menggantungkan hidupnya dari pekerjaan sebagai pawang.
No comments:
Post a Comment