Awal Perjalanan
Seorang kawan yang luar biasa baik, Muhammad Arif Kirdiat, biasa saya sapa Kang Arif, selalu mengatakan “kapan ente ada waktu?” saat saya tanya “kapan kita ke Baduy Kang?”,ahaaa…pertanyaan yang menggelitik. Setelah sekian lama menunggu waktu yang tepat, akhirnya kesempatan yang kutunggu itu datang di bulan November.
Sabtu, 14 November 2009
Pagi itu, saya, Kang Arif, Johan, Mamat, Ian, Ari, dan Dhanar janjian bertemu di depan Plasa Semanggi pukul 06.00 pagi. Pukul 06.30 semua berkumpul termasuk Xenia Kang Arif yang bakal kami pakai jalan hari itu, namun ternyata teman Mamat datang untuk menyampaikan maaf karena ga jadi ikut trip, “kudu lembur euy…”, ujarnya, jadi kami hanya ber-enam yang berangkat. Akhirnya pagi itu kami meluncur juga menuju tanah Banten.
Masih saling mengenal karena ada beberapa teman yang baru kenal, kami lancer melewati tol Jakarta-Tangerang-Merak-kota Serang dan selanjutnya saya tak ingat lagi satu persatu jalan yang kami lalui. Tepat tengah hari, saat jarum jam menunjukan pukul 12.00 kurang sekian menit, kami tiba juga di Ciboleger, terminal dan titik terakhir sebelum memasuki Desa Kanekes.
Setelah makan siang di sebuah warung makan kenalan Kang Arif di Ciboleger dan re-packing, kami semua siap meluncur menuju Desa Kanekes dengan tujuan langsung ke Baduy Dalam (Cibeo). Kebetulan sekali di warung itu kami bertemu Kang Idong dan Kang Yadi, 2 orang Badui Dalam yang baru saja mengantar tamu keluar, dan bukan kebetulan kalalu Kang Arif sudah kenal kedua orang sahabat itu. Kami tahu karena Kang Arif sudah sejak 14 tahun lalu bolak-balik keluar masuk Badui Dalam, termasuk sosialisasi saat musim kampanya, heheheee…..(yang ini off the record kok Kang, tenang aja).
Melintas Bukit dan Lembah
Setelah melewati gerbang utama memasuki Desa Kanekes , kami langsung menuju rumah Jaro’ Daena untuk melapor dan mengisi buku tamu, lagi-lagi Kang Arif sudah cukup akrab dengan beliau. Di rumah Jaro pulalah kami bertemu Juli, anak dari Mang Ardi, pemilik rumah yang rencananya akami kami tuju untuk singgah. Kang Arif tidak bias menutupi keheranannya, karena dia terakhir bertemu Juli sudah cukup lama saat Juli masih anak-anak, sementara sekarang Juli sudah beranjak dewasa dengan otot-ototnya yang kekar alami khas Baduy, kesempurnaan fisik yang ditempa alam.
Setelah semua beres, termasuk administrasi buku tamu, kami berenam, ditemani Kang Idong, Kang Yadi, Juli dan anak dari Kang Idong, memulai berjalan menyusuri jalan setapak Desa Kanekes. Sekitar 1 jam perjalanan, kami mulai memasuki Gajeboh, salah satu kampung di Baduy Luar. Setelah menengok keadaan sekitar, dan tak lupa mengabadikan sedikit gambar disitu, kamipun melanjutkan perjalanan, menuju Cibeo. “Masih dua per tiga perjalanan lagi kita sampai”, kata Kang Arif. Kami beruntung hari itu, hujan tidak turun selama kami memacu lutut dan nafas naik turun bukit lembah melewati jalan tanah liat setapak.
Lewat dari 2 jam ketika kami sampai di sebuah jembatan bambu di atas sungai yang menjadi batas antara Baduy Luar dengan Baduy Dalam. Disini pula terakhir kali kami bias menggunakan gadget termasuk kamera, karena masih menjadi pantangan bagi orang Baduy Dalam untuk menggunakan itu di kampong mereka, dan kami sangat menghargai prinsip itu. Berarti tak ada lagi dokumentasi visual yang bias menggambarkan Baduy Dalam dengan segala aktivitasnya. Selepas jembatan, kami disuguhi tanjakan yang kata kang Idong, Cuma bentar, sehingga kami namai “tanjakan asoyy” dan ternyata tanjakannya memang benar2 asoyyyy…(konotatif), karena ini adalah tanjakan terakhir yang sangat menguras tenaga. Setapak demi setapak kami memijak batu yang disusun menjadi tangga namun tak beraturan.
Sekitar sepeminuman teh habis saat kami sampai diatas bukit di saung Kang Idong dan disambut anak-anak Kang Idong yang masih kecil, dan tentunya disambut makanan terenak yang kami ingat saat itu…durennnnn!!!!!! Betapa tidak nikmat, sembari berpeluh keringat ngos-ngosan kami membuka buah berduri tersebuut dan tanpa ba-bi-bu langsung menghabiskan beberapa butir duren, yang disambung dengan pisang ambon –yang lagi2-, ajibbbbb!!!!
Cibeo
“sebentar lagi kita sampai di kampung”, kata Kang Idong menyemangati, besar harapan kami saat itu akan segera sampai dan mengobati kelelahan selepas perjalanan. Lima menit pertama setelah “durians time” itu kami lalui datar-datar saja, 10, 20 menit kami lalui dengan medan naik turun meskipun tidak terlalu terjal namun cukup menguras tenaga dengan tanah yang lembab dan licin. Hingga sekitar setangah jam lewat saat kami mulai memasuki komplek penyimpanan padi berupa puluhan lumbung padi berbentuk panggung berukuran kurang lebih 2x2x2,5 meter. Hampir sama dengan lumbung padi yang digunakan masyarakat Baduy Luar.
Lumbung Padi di Baduy Luar
Sejenak kemudian kami telah memasuki kampong Cibeo, salah satu dari 3 kampung Baduy Dalam selain Cikeusik dan Cikartawana. Seperti rencana di awal perjalanan, rumah warga yang akan kami tuju dan menjadi tempat kami menumpang tidur malam itu, rumah panggung Mang Ardi, demikian ayah dari Juli itu kami panggil. Mang Ardi dengan istri dan anak-anaknya dengan keramahan yang luar biasa menyambut dan memperlakukan kami dengan luar biasa malam itu, tak ada kesan asing kepada kami, begitu pula warga lain yang berkerumun ikut bercerita di balai-balai rumah keluarga Mang Ardi malam itu.
*cerita ini saya tulis hanya berdasar ingatan, kekurangan informasi hanya kesengajaan belaka*
(to be cont...)
Wooow.... jadi inget lagi nih.... baru baca malam ini.... artikel layak muat di Kompas (minimal kompas penunjuk arah.. hehehe).... empat jempol deh...
ReplyDelete