Walaupun Indonesia terkaya di dunia, tetapi selama sains tiada merdeka, seperti politik negaranya, maka kekayaan Indonesia tidak akan menjadikan penduduk Indonesia senang, melainkan semata-mata akan menyusahkannya, .... (Madilog, Tan Malaka)
20 July 2010
Jakarta, Pagi Hingga Malam
Pagi tadi, dalam perjalanan menuju tempat nguli, saya dan istri yang berboncengan sepeda "montor" menjadi saksi betapa kehidupan di ibukota ini telah begitu berwarna. Seorang pengendara sepeda motor berjaket pola 'kulit macan', bercelana training, bersepatu olahraga bertuliskan nama sebuah instansi, melaju di lajur yang salah, tepat berhenti di samping motor kami, pada sebuah pertigaan di bilangan Kramat Raya. Sebelum berhenti, sang pengendara yang seharusnya melaju di lajur kanan mengambil lajur kiri yang mestinya menjadi jalur pengguna jalan lain, karena dia hendak berbelok kekanan (setidaknya itu yang kulihat).
Seorang polisi yang berada di tengah lintasan menegurnya, tidak halus2 amat memang, tapi itu memang menjadi wajar ketika niat mulianya mengarahkan pengguna jalan tak dihiraukan *emang ga pernah enak kalau dicuekin*
"saya mau ke kanan", sang pengendara menjawab "saya dari **********", lanjutnya seraya mengatakan sesuatu profesi, jabatan atau apalah namanya yang memang tergambar dari pakaiannya.
Si Polisi tak habis akal "sampeyan berada di jalur yang salah, sudah saya arahkan", si Polisi menerangkan.
"tapi saya.....bla...bla...bla...", si Pengendara menjawab dengan nada makin tinggi.
"sampeyan kalau mengaku ******** dan ga mau diatur, setidaknya kasih contoh masyarakat" si Polisi tak mau kalah.
Sampai saat lampu "bang-jo" menyala hijau, tak juga ada senyum menghiasi keduanya, si Polisi dengan muka kesal mengalah (masih banyak yang masih mau diatur, barangkali begitu pikirnya), mengambil posisi menjauh dari si Pengendara. Sebaliknya si Pengendara, dengan gagahnya memacu motor kecilnya meninggalkan pertigaan (ahhhh, saya menang....bisa jadi begitu di benaknya).
Peristiwa yang terjadi tak lebih dari 3 menit pagi tadi bukan hal yang aneh di kota ini. Kesemrawutan di jalan, penghuninya yang musti berpacu dengan waktu, saling menarik urat marah denan pengendara lain, asap yang menghitam, bukan hal yang aneh dan menjadi bumbu dari yang namanya hidangan prasmanan ibukota.
Kesabaran menjadi hal yang mutlak dibutuhkan kalau kita tidak ingin berlelah-lelah terjebak dalam rutinitas yang penuh tekanan. Persoalan hidup di ibukota tidak akan berhenti bahkan ketika kita terlelap sekalipun, tak ada yang pernah yakin bahwa udara yang kita bawa ke dalam mimpi itu bersih, rumah yang kita tinggali aman dari banjir atau bahkan baru2 ini yang lagi ngetren, ancaman "bom 3 kg", wuffff....indahnya. Sampai pada persoalan yang timbul dari rutinitas yang bisa menjadi sangat menjemukan, ya..., pekerjaan.
Sesaat mendengar kata "pekerjaan", saya teringat sebuah kalimat yang terukir pada selembar post-it kuning di depan meja kerjaku "Bila pekerjaan adalah kesenangan, hidup adalah kenikmatan. Bila pekerjaan adalah tugas, maka hidup adalah perbudakan", begitu setidaknya petuah dari seorang Maxim Gorkhy. Kata2 yang barangkali masih menjadi pajangan di tembok2 mimpi saja. Makian, keluhan, umpatan, bukankah itu manusiawi dalam keseharian??yang bisa jadi disebabkan tekanan pekerjaan rutin, dan sebab lain yang telah begitu komplek mempengaruhi keseharian manusia di kota ini.
Kembali tentang kesabaran, hal yang menjadi "modal dasar" kalau tidak mau dikatakan wajib dimiliki setiap orang yang menggantungkan nasib pada kehidupan kota ini. Hari, yang di kota ini akan menjadi lebih panjang daripada di kota2 lain di negeri ini, bukanlah suatu keadaan diam yang akan membungkus kita dalam rutinitas belaka, tapi dinamikanya telah menjadi luar biasa untuk dinikmati, bagi yang memiliki "modal dasar" tadi tentunya. Jam kerja, yang lazimnya diawali antara pukul 7-8 setiap harinya, diakhiri sekitar pukul 17, dan akan berlanjut bagi yang memang harus berlanjut, kadang sampai berganti hari, akan menjadi neraka bagi yang tidak mampu menikmatinya.
Dan, sampai saatnya penat itu harus dilepas, berganti dengan baju mimpi, bisa jadi cuma ada sekerumus harapan yang menjadi selimutnya. Harapan bahwa besok kita masih bisa bernafas, hidup, menghadapi masalahnya, karena bumi kita masih "bumi manusia, dengan segala persoalannya, bukan sekedar pangkat dan jabatan".
*masih bermimpi kelak pulang kampung, mbangun ndesa, ahahaaa....*
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
keren om postingya..
ReplyDeleteRuwet pancen. tapi sukur kalo emang ada yang mau ngalah...
ReplyDelete@monoXXX...ya ngene kiye urip neng kene, nggolet pelampiasan sing kanggo nggawe.
ReplyDelete@ngapak...lah ya sing penting nganggone ngelmu sabar, kuwe kakiku mbiyen aweh pepeling. lomba nulis blog ngapake keren idene, "ngudek sawah gulune kelu, Insya Alloh aku melu", huakakakkkk...penjorangan.